Bapak Mengajariku Mengatakan “Cukup”
Bapak... aku merasa bahwa kasihnya tidak pernah habis. Selalu ada untukku, selalu ada untuk kakak dan adikku. Bersama dengan ibuku, setiap hari menjadi kesempatan berpesta kasih sayang dari Bapak dan Ibu. Semenjak aku kecil, aku telah diajari untuk mengasihi, terlebih untuk menerima kasih Bapak melalui hal-hal sederhana yang kualami setiap hari.
Aku masih ingat, setiap pagi Bapak membangunkanku untuk mandi, siap-siap berangkat sekolah. Ibuku dengan diam tanpa bicara memasak makanan untuk sarapan pagiku. Satu hal yang kupelajari dari Bapak adalah bersyukur atas hari ini, bersyukur atas apa yang dialami. Memang, tidak selamanya indah dan menyenangkan, tapi tidak tau mengapa Bapak bisa membuat hal itu menjadi suatu hal yang disyukuri.
Bapakku adalah seorang petani sederhana yang tidak mempunyai penghasilan tetap. Namun, yang selalu membuatku heran adalah ayah tetap gembira. Bahkan ketika tidak ada uang di kantong, Bapak tetap gembira. Ketika tidak ada sayur, Bapak mengajakku pergi ke kebun memetik daun singkong, daun bayam, untuk dimasak jadi sayuran. Ketika, tidak ada lauk, Bapak mengajakku pergi ke sungai, memancing ikan dan dijadikan lauk. Memang tidak berlebih, tetapi selalu cukup untukku, kakaku, adikku, ibu, dan Bapak sendiri. Tidak jarang, lauk bagian Bapak berpindah ke piringku atau piring adikku. Aku dan adikku hanya tersenyum kegirangan mendapat tambahan lauk. Sedangkan ibu dengan senyumnya, membagi lauknya menjadi dua, untuk kakakku dan untuk Bapak. Sambil tersenyum pula, Bapak membagi lauknya untuk dirinya dan ibu. Selalu dan selalu begitu.
Bapak mengajarkan aku untuk berani mengatakan cukup. Ini lebih dari cukup untuk bersyukur kepada Tuhan. Ketika orang lain mengeluh tidak punya televisi, Bapak dengan tenang mengatakan, “Kita memang tidak punya televisi, tetapi punya tetangga yang baik, yang bisa kita tumpangi untuk nonton televisi. Bahkan sambil nonton kita bisa mendapat snack, teh manis, atau kue yang lain” Lain lagi ketika ada tetangga yang mempunyai sepeda motor baru, Bapak berkata, “Memang kita tidak mempunyai motor, tetapi kita bisa bergembira dan bercerita bersama banyak tetangga ketika bersama-sama naik angkutan untuk pergi ke pasar.” Ketika rumah terkena longsor tahun 2000, Bapak tetap tenang dan tidak panik. “Memang kita tidak punya rumah saat ini, tetapi kita bisa numpang di tetangga. Kita bisa menikmati keindahan malam hari dan sendau gurau bersama tetangga. Dan yang pasti aku tidak kehilangan kamu, kakakmu, adikmu, dan ibumu. Itu lebih dari cukup.” Ketika rumah sudah berdiri kembali, walaupun lebih kecil, Bapak dengan tenangnya mengatakan, “Memang rumah kita kecil, tetapi malah menjadi tanda bahwa kita yang kecil ini bisa saling berbagi kesempatan untuk merawat rumah ini secara bersama-sama.’ Selalu ada alasan atau selalu ada situasi yang membuat Bapak bisa bergembira, bersyukur dan mengatakan cukup atas apa yang telah diperoleh dalam hidup ini.
Ketika aku sempat merasa malu dan iri dengan teman-teman yang mempunyai rumah lebih besar dan indah, sekali lagi Bapak mengatakan, “Nak, jangan sampai kamu dipermalukan oleh rasa malu, minder, rasa kecil yang ada di hatimu. Kamu harus belajar bahwa kita harus lepas bebas dari rasa dan keterikatan hal-hal materi di dunia ini. Mempunyai rumah kecil, apa besar bukanlah jaminan bahwa selalu bisa tersenyum, bersyukur, dan bergembira. Jangan lupakan bahwa yang menjadikan rumah kita nyaman adalah kita yang selalu bersyukur kepada Tuhan, bukan karena besar atau indahnya rumah kita. Keberadaan satu dengan yang lainnya, kamu, adikmu, kakakmu, dan ibu adalah sumber kebahagiaan satu dengan yang lain.”
Ketika suatu kali kutanya mengapa Bapak tidak pernah merayakan ulang tahun, entah dengan sekedar memotong ayam atau apa begitu, dengan tenang Bapak mengatakan, “Nak, setiap hari Bapak merayakan ulang tahun dan mendapat hadiah yang istimewa dan tidak ternilai. Melihatmu senang, berbahagia, dan pulang ke rumah dengan gembira merupakan kado yang diberikan Tuhan setiap hari kepadaku. Mengapa aku harus meminta yang lebih besar, jika hadiah yang terbesar dari Tuhan sudah kuterima.”
“Terima kasih Tuhan, aku boleh mempunyai Bapak yang sempurna, amat sempurna untukku. Terima Kasih Tuhan.”
Engkau beri aku ....
langit tuk kuhiasi bintang dan awan
harapan dikala kucemas
hari esok sebelum malam berlalu
cerita saat kubersamaMu
HadirMu dalam hidupku
Indahkan jalan yang berlalu
Ciptakan rasa menjadi cinta
Menopang hidup tuntun langkahku
Trima kasih....
Kaunyalakan cahaya dalam langkah-langkahku
Kaukobarkan rasa saat kujumpa diriMu
Kauciptakan harapan dalam setiap keterpurukanku
Menghalau setiap goncangan menjadi cinta
Tinggal berlalu sembuhkan luka
Setiap duka dan ria menjadi cinta
Kudengar semakin menjadi nyata
“Jangan takut, Aku mengasihimu. “
Dan kujawab dengan seluruh cintaku
Aku juga....
Anakmu yang amat bangga dengan Bapak
Florentius Hartanta
Selasa, 26 Agustus 2008
Langganan:
Postingan (Atom)