Kamis, 24 April 2008

Makna Inisiasi Kristen


Inisiasi Kristen

  1. Makna Inisiasi Kristen

Inisiasi berasal dari kata inire yang berarti masuk ke dalam atau initare yang berarti memasukkan ke dalam. Gejala umum yang terjadi adalah bahwa setiap kelompok sosial mengadakan dan memakai upacara khusus untuk menerima dan memasukkan orang luar ke dalam kelompoknya secara penuh. Inisiasi juga bisa dibandingkan dengan rites de passage yang diadakan sehubungan dengan siklus hidup manusia. Orang Islam misalnya, dengan cara mengucapkan syahadat. Untuk orang kristen, yang biasanya termasuk dalam inisiasi adalah sakramen baptis, penguatan dan Ekaristi.

Dewasa ini, inisiasi kristen terdiri dari dua upacara pokok, yakni baptis dan penguatan. Asal-usul baptis sebagai inisiasi dari mana? Asal-usule pasti tidak saka tela. Di kalangan umat yahudi, inisiasi dijalankan dengan sunat, sehingga orang dapat masuk di kalangan religius Yahudi (Bar-mizwot). Paulus membandingkan dalam Kol 2:11-13. Dari kalangan Yahudi dikenal baptisan proselit, baptis pada jemaah qumran dan khususnya praktek yang dibuat oleh Yohanes Pembaptis.

Perhatikan Pertama, Baptisan Yohanes dimaksudkan untuk pertobatan, supaya mereka yang bertobat diampuni karena kerajaan Allah sudah dekat. Kedua, baptisan Yohanes menunjuk pada baptisan yang akan dilakukan oleh Yesus, yang akan membaptis dengan api dan Roh Kudus, lambang realitas eskatologis. Kristus askan membaptis dengan pengadilan terakhir, yaitu memberikan pembaharuan hidup ilahi. Hal itu terlaksana dengan wafat dan kebangkitan Kristus. Gereja perdana mengalami dengan kedatangan Roh Kudus. Inisiasi merupakan kenya-taan, bukan upacara: pencurahan Roh Kudus.

Dalam Baptisan Yesus (Mk 1:9-11 par), terdapat dua adegan yaitu pembaptisan Yesus sendiri dan teofani. Dengan ini pembaptisan mau menunjukkan realitas Yesus yang diwahyukan pada orang-orang sekitar, meningkatkan status Yesus menjadi Putera terkasih allah, awal tugas pelaksanaan Kerajaan allah secara publik. Dengan melihat teks Mk 10:38-39 (Yakobus Yohanes mau minum cawan dan baptisan), dan Luk 12:49-50 (Aku datang untuk melempar api:menerima baptisan) dan baptisan Yesus tadi kita menemukan beberapa unsur pokok untuk diperhatikan: air, cawan, api, roh Kudus. Yesus sendiri tidak membaptis (hanya ada satu teks yang mendukung, itupun dikoreksi oleh narator Yohanes bab 3 dan 4), tapi memberi perintah (akhir Matius dengan rumus trinitaris, lain dengan Markus, diragukan dari Yesus sendiri). Dari teks-teks Gereja perdana menjalankan inisiasi, tampak belum ada keseragaman dalam inisiasi. Namun beberapa hal bisa diambil.

Pertama, proses inisiasi mengalami pentahapan: penerimaan kerigma, disertai reaksi/rasa haru, menanyakan apa yang harus dibuat, pertobatan dan diakhiri dengan pembaptisan dan penumpangan tangan. Kedua, muncul soal: kelengkapan terletak pada penumpangan tangan?Ketiga, apa dasar tepat untuk baptisan bayi? Nah teksnya:

  • Kotbah Petrus (Kis 2:14-40).

  • Filipus di Samaria (Kis 8: 4-25).

  • Sida-sida dari Etiopia (Kis 8:26-40).

  • Petrus dan Kornelius (Kis 10:44-48).

  • Paulus di Filipi (Kis 16).

  • Apolos di Efesus (Kis 18) .

  1. Inisiasi dalam Kitab Suci:

Perjanjian Baru tidak mengenal istilah “inisiasi”. Ada dugaan bahwa Perjanjian Baru mau menghindari istilah ini karena lazim dipakai dalam agama agama misteri. Namun, inisiasi sebagai gagasan, sudah muncul dalam Perjanjian baru. Sudah ada praktek penerimaan seseorang ke dalam jemaat dengan baptisan, penumpangan tangan, dan ekaristi.

Berapa gambaran yang penting:

  • Baptisan Yohanes:

Baptisan itu dimaksudkan untuk pertobatan karena Kerajaan Allah sudah dekat (Mrk 1:4; Luk 3:3). Baptisan Yohanes dilakukan dengan air; dan mengarah kepada realitas Eskatologis yakni dimana Yesus membaptis dengan Roh.

  • Baptisan Yesus (Lih. Mrk 1:9 11):

Yohanes sebenarnya tidak mau membaptis Yesus, tetapi Yesus mendesaknya supaya digenapkan seluruh kehendak Allah. Ada adegan Teofani yakni bahwa sesudah baptis, langit terkoyak, Roh spt burung merpati turun ke atas Yesus utk meneguhkan panggilanNya.

  • Perintah Yesus untuk membaptis:

Sulit untuk menjelaskan apakah secara historis Yesus membaptis atau tidak, karena tidak ada perikope lain yang mendukung teks Yoh 3:22 26. Bahkan Yoh 4:1 2 malah memperkuat keraguan bahwa bukan Yesus yang membaptis.Maka, lebih penting untuk melihat pesan Yesus untuk membaptis: Mt 28:16 20; Mrk 16:15 18. Urutan inisiasi yang dapat kita lihat dalam teks teks ini adalah:

  • menjadikan semua bangsa muridNya,

  • pembaptisan dijalankan dlm nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus, dan

  • pengajaran untuk melakukan perintahNya.

  • Kisah Para Rasul:

Teks Kis 2:14 40; 8:4 25; 8:26 40; 10:44 48; 16:15; 18:25. Belum ada keseragaman dalam jemaat perdana dalam hal inisiasi. Namun beberapa hal bisa dikatakan:

  • proses inisiasi mengalami pentahapan,

  • manakah kelengkapan inisiasi: penumpangan tangan?

  • bagaimana dengan baptisan anak?

  • e) Surat Surat Paulus:

Teks 1 Kor 6:11; 10:2 4; 12:12 13; 15:29; Ef 4:4 6; 5:25 27; Rm 6:1 14; Kol 2:9 15.

  • Paulus tidak menguraikan proses inisiasi pada umumnya. Masalah baptisan hanya disinggung tanpa uraian sistematis.

  • Paulus membandingkan inisiasi Kristen dengan sunat orang Yahudi.

  • Tugas utama adalah bukan membaptis tetapi memberitakan Injil (1 Kor 1:13 17).

  1. Sejarah Singkat Inisiasi Kristen:

Pada abad abad pertama Gereja disibukkan dengan perjumpaannya dengan dunia dan kultur Yunani dan Romawi. Unsur unsur budaya Yunani Romawi masuk dalam khazanah iman Kristen. Pada abad abad pertama inisiasi masih diberikan bersama sama, baik kepada orang dewasa maupun kanak kanak.Mulai pada abad IV praktek penumpangan tangan atau krisma dilakukan oleh Uskup. Tendensi ini dipengaruhi oleh tiga faktor, antara lain :

  • Keyakinan Gereja mengenai dosa asal sehingga baptisan bayi merupakan keharusan. Karena baptisan bayi makin meluas maka dirasa perlu untuk memisahkan baptisan dari penumpangan tangan. Sebab dengan penumpangan tangan Uskup masih dapat bertemu dengan mereka yang semula baptis bayi. Penerimaan orang orang bertobat dari kelompok bidaah; karena baptisan mereka sudah sah, maka perlu penumpangan tangan sebagai tanda penerimaan.

  • Warga Gereja semakin banyak dan tersebar dalam aneka tempat dan wilayah, maka penumpangan tangan semakin menjadi privilege Uskup, agar Uskup mengenal umat dan wilayahnya. Akibatnya muncul tradisi bahwa imam yang membaptis dan Uskup yang menumpangkan tangan.

  • Pada abad pertengahan terjadi perbedaan antara Gereja Timur dan Gereja Barat. Gereja Timur tetap mempertahankan kesatuan inisiasi sedangkan Gereja Barat cenderung mengembangkan Krisma sebagai upacara sendiri.

Antara abad IX XI pemisahan baptisan dan krisma mencapai puncaknya. Dan pada abad XII baptisan dan krisma sudah dipandang sebagai dua sakramen.Konsili Vatikan II dengan pembaharuan liturgi mencoba mengajarkan kesatuan sakramen sakramen inisiasi. Lih. misalnya: SC 71; bdk. AG 14; dll.

  1. Inisiasi Kristen Merupakan Sakramen Iman Gereja:

Inisiasi Kristen merupakan Sakramen Iman (SC 59, PO 4) dengan mana berkat penerangan Roh Kudus kita menanggapi tawaran penyelamatan yang dari Allah melalui Gereja.Iman mutlak perlu untuk inisiasi Kristen. Iman bukan sekedar persetuju-an terhadap pokok pokok iman dalam syahadat tetapi iman berarti mengikatkan diri kepada Dia yg menjadi pokok iman yakni Kristus. Iman itulah yang menjiwai kita untuk menyerupai pribadi Kristus, me-nyerahkan diriNya secara total. Iman seperti itulah yang memasukkan seseorang kepada dinamika hidup kristiani yang pada hakekatnya adalah menghayati iman yang diakui dalam inisiasi, yang dipupuk oleh inisiasi yang diandaikan sudah ada sebelumnya. Sakramen inisiasi mempunyai daya untuk mendatangkan rahmat, sungguh-sungguh membuka hati orang beriman untuk menerima secara berlimpah. Di dalam inisiasi, iman benar-benar diungkapkan dan diakui serta disaksikan oleh seluruh jemaat.

Dengan menginisasikan orang luar ke dalam dirinya sebagai jemaat pe-nyelamatan, jemaat kristen dengan tegas menyatakan iman kepercaya-annya. Iman kepercayaan yang terungkap itu bukan iman kepercayaan pada umumnya [Yesus Kristus sebagai Tuhan, Anak Allah dan Juru Selamat]. Iman itu adalah iman yang konkret: iman kepercayaan jemaat bahwa Allah dalam Yesus Kristus menyelamatkan orang yang sedang diinisiasikan ini; Allah manawarkan keselamatan kepadanya.

KV II dengan tegas mengajarkan tentang iman itu dalam SC 59. Di sana dinyatakan bahwa sakramen-sakramen [semua] disebutu sakramen iman. Hal ini mau menegaskan dimensi relasional-diagonal dalam sakramen. Dalam sakramen raliatas keselamatan dirayakan, dihadirkan dan ditawarkan kepada manusia. Dengan iman, realitas keselamtan itu dikenal dan ditangkap. Tanpa iman sakramen-sakramen hanyalah simbol-simbol kosong dan tanpa sakramen apa yang diimani itu tidak pernah kelihatan dan berdaya guna secara real. Iman yang dimaksud-kan di sini bukanlah iman pribadi melainkan pertama-tama iman Gereja.

Konsekuensi dari makna sakramen seperti itu adalah bahwa dari si penerima sakramen dituntut sikap aktif, terutama dengan memiliki disposisi yang diperlukan. Disposisi itu adalah iman dan kecondongan atau kesesuian pribadi bagi kurnia rahmat yang ditawarkan dalam sakramen. Itulah intentio recipiendi quod facit ecclesia, artinya penerima sakramen memang mempunyai kehendak untuk menerima apa yang dibuat Gereja.

  1. Inisiasi Kristen Mengungkapkan Tobat (Sakramen Baptis)

Pembaptisan Yohanes

Yohanes Pembaptis menjadi tokoh yang dikenal dalam PB yang menggunakan air sebagai simbol pertobatan. Dalam praktek agama-agama, penggunaan air secara umum adlaah untuk pem-bersihan rohani. Pewartaan Yohanes dipusatkan untuk pertobatan dan pengampunan dosa (Mrk 1:4, Luk 3:3). Pewartaannya bernada eskatologis, hanya pertobatanlah yang menghindarkan orang dari murka Allah. Pertobatan sejati akhirnya harus mengantar orang pada pembaptisan, karena dengan demikian berarti mengikuti jalan kebenaran sepeti diajarkan olehnya (Luk 3:10-14). Tentang bap-tisan Yohanes ini ad 2 kesimpulan yang harus dicatat yaitu:

  • Baptisan Yohanes dimaksudkan untuk pertobatan, supaya mereka yang bertobat diampuni dosanya karena KA sudah dekat.

  • Baptisan Yohanes menunjuk pada baptisan yang akan dilakukan oleh Yesus, yang akan membaptis dengan api dan RK, lambang realitas eskatologis. Kristus akan membaptis dengan pengadilan terakhir yaitu akan memberikan pembaharuan hidup ilahi.

Pembaptisan Yesus

Dalam baptisan Yesus (Mrk 1:9-11), terdapat 2 adegan yaitu pembaptisan Yesus dan teofani (langit terbuka dan RK turun atas Yesus). Dengan pembaptisan mau ditunjukkan:

  • Realitas Yesus yang diwahyukan pada orang-orang sekitar.

  • Meningkatkan status Yesus menjadi Putra terkasih Allah.

  • Awal tugas pelaksanaan KA secara publik.

Sedangkan dalam teofani menunjuk pada pembaharuan hidup dan penjelasan tentanfg status Yesus sebagai Putra Allah. Yesus sendiri tidak membaptis. Ada 2 teks yang menunjuk seakan-akan Yesus pergi membaptis (Yoh 3:22-36, Yoh 4:1-2). Yang pasti Yesus memberikan perintah untuk membaptis: Baptislah mereka dalam nama Bapa, Anak, RK (Mat 28:16-20). Yesus memberikan jaminan bahwa Ia akan menyertai para murid-Nya itu sampai akhir zaman. Dalam Mrk 16:15-18, pembaptisan dikaitkan secara sngat erat dengan keselamatan. “siapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan, tetapi siapa yang tidak percaya, ia akan dihukum”. Secara eksplisit adanya perintah dari Yesus untuk bertobat karena pertobatan inilah yang akan menghasilkan keselamatan. Tampaknya, gereja perdana belum menjalankan inisiasi secara seragam. Namun beberapa hal bisa diambil. Proses inisiasi mengalami pentahapan: penerimaan kerigma menanyakan apa yang harus dibuat dan diakhiri dengan pembaptisan dan penumpangan tangan.

3) Refleksi teologis: Pembaptisan menyatukan umat dengan Kristus.

Pembaptisan terjadi dalam nama YK (Kis 2:38, Kis 10:48). Dengan demikian seseorang dimasukkan ke dalam seluruh pribadi dan persitiwa Yesus. Dalam Rm 6:14, Paulus menyerukan agar orang kristiani menghayati hidup barunya dengan cara mengingat makna dasar pembaptisan. Persekutuan dengan seluruh pribadi dan peristiwa Yesus tentu saja berarti pertobatan dan pengampunan dosa. “Karena kita tahu bahwa manusia lama kita telah turut disalibkan, supaya tubuh dosa kita hilang kuasanya agar kita jangan menghamba-kan diri lagi kepada dosa. Sebab barang siapa telah mati, ia telah bebas dari dosa. Segi pertobatan dan pengampunan dosa memang merupa-kan karunia pokok pembaptisan. Lebih dari itu dengan pembaptisan kita diikutsertakan dan dipersatukan dengan hidup Yesus. Dengan demi-kian, nyatalah bahwa pertobatan dipahami sebagai persekutuan dengan hidup Yesus.

  1. Inisiasi Kristen Memampukan Orang Menjadi Saksi Kristus (Sakramen Krisma).

Sekilas tentang sakramen baptis: SC 59 menyatakan: Sakramen-sakramen dimaksudkan untuk menguduskan manusia, membangun Tubuh Kristus dan akhirnya beribadah kepada Allah. Orang-orang yang sudah dibaptis diharapkan mengarahkan hidupnya untuk membangun Gereja dan membawa warta gembira Kristus sebagai perwujudannya. Upacara inisiasi Kristen yang diawali oleh pembaptisan dengan air mengeksplisitkan peranan personal RK, yang menerangi, membenar-kan dan menguduskan setiap orang yang menerima inisiasi Kristen. Inisiasi kristen menyoroti peranan kolektif eklesial dari RK yang dilambangkan dengan penumpangan tangan dan pengurapan minyak yakni sakramen krisma.

Sakramen krisma adalah menjadi saksi kristus: Dengan penumpangan tangan dan pengurapan dengan minyak di dahi. Seorang jemaat kristen mendapatkan segala hak dan kewajibannya sebagai anggota jemaah bukan hanya sebagai pribadi. RK memampukan dia untuk menunaikan tugasnya yaitu mengaktualkan keselamatan di dalam jemaat, membina diri bersama sebagai jemaat.

Hal ini menyangkut tugas misioner seluruh jemaat. Ia ikut serta dalam imamat Kristus. Dari segi makna, sakramen krsima secara tegas dan eksplisit membuat RK menjadi semkain tampak sebagai kekuatan Gereja. Seorang penerima krisma, berkat RK ikut ambil bagian dalam tugas misioner aktif dan publik, “kalau RK turun atasmu, kamu akan menjadi saksikKu di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan sampai ke ujung bumi (Kis 1:8).

Oleh sakramen krisma, seseorang diangkat dan ditugaskan dengan kekuatan RK menjadi saksi bagi Kristus sebagai Mesias. Seseorang menerima tugas kewajiban membangun dunia menuju penyelesaiann-nya yaitu KA sendiri. Maka sakramen krisma menggarisbawahi aspek sosial dari sakramen inisiasi. Bila sakramen baptis disebut pintu (LG 11) untuk masuk menjadi anggota umta Allah (PO 5) dan mengarahkan ke dalam, sebaliknya sakramen krsima mengarah ke luar karena mewa-jibkan orang untuk menyebarluaskan dan membela iman sebagai saksi Kristus yang sejati (LG 11). Dengan baptis dan krisma orang ditugaskan untuk tugas kerasulan (LG 33). Dengan demikian, inisiasi merupakan proses masuk kemudian pergi keluar untuk diutus. Kedua sakramen ini memungkinkan orang menjadi anggota Gereja yang penuh.

Sakramen krisma artinya Gereja tak hidup untuk dirinya sendiri: Krisma merupakan sakramen khusus yang merayakan RK bagi pembangunan Gereja serta memantapkan tugas perutusannya. RK-lah yang menuntun gerak gereja karena RK merupakan prinsip hidup Gereja. Gereja menjadi simbol real dari keselamatan Allah yang terlaksaana dalam YK. Maka, eksistensi Gereja tak akan bisa dilepaskan dari tugasnya sebagai saksi Kristus dan sakramen keselamatannya. Yesus mengutus para muridNya ke seluruh dunia seperti Ia sendiri diutus oleh Bapa (Yoh 20:21). PerintahNya; “pergilah, jadikanlah semua bangsa muridKu (Mat 28:19).






Selasa, 22 April 2008

sakramen-sakramen Gereja

I. Sakramen sakramen Gereja
Sakramen-sakramen Gereja ini tak dapat dipisahkan dari ibadat atau liturgi Gereja, karena semua sakramen-sakramen adalan bentuk-bentuk ibadat Gereja; yaitu mereka merayakan misteri penyelamatan Allah melalui Kristus. Melalui tanda-tanda, mereka menghasilkan rahmat yang sesuatu dengan masing-masing sakramen bagi pribadi-pribadi yang merayakan sakramen-sakramen ini.
Sejarah keselamatan adalah sejarah perjumpaan personal Allah dengan manusia dan penyingkapan rencana keselamatanNya dalam sejarah. Perjumpaan personal Allah dengan manusia ini, yang inisiatifnya datang dari Allah dan hanya dari Dia, telah terpenuhi sekali untuk selamanya dalam Yesus Kristus : dalam satu Pengantara jarak tak terbatas yang memisahkan manusia dari Allah telah dijembatani; melalui misteri Paskah Kristus semua manusia telah diselamatkan dan dipersatukan dengan Allah. Namun, misteri itu yang terpenuhi sekali untuk selamanya masih harus dihadirkan dan operatif di segala zaman dan segala tempat, dan dampak penyelematanNya harus menyentuh semua orang. Perayaan sakramen-sakramen merupakan sarana khusus yang ditetapkan oleh Kristus dan dipercayakanNya pada Gereja, yang olehnya misteri penyelamatan menjadi, bagi setiap zaman sampai pada akhir zaman, sebuah realitas yang hidup dan bisa disentuh. Melalui sakramen-sakramen, misteri Kristus selalu aktual dan efektif. Kristus yang telah mati dan bangikit hadir di dalamnya dan melaksanakan melalui sakramen-sakramen itu daya keselamatanNya. Dalam sakramen-sakramen, manusia sampai pada sentuhan personal dengan Tuhan yang bangkit dan karya penyelamatanNya. Tanda-tanda manusiawi yang sederhana yang dari dirinya sendiri tak pernah dapat memiliki suatu daya kekuatan yang berdaya supranatural telah menjadi sarana rahmat Allah karena Kristus telah menetapkannya melalui Gereja menjadi ungkapan indrawi dari kehendak pengudusanNya.
Dengan demikian, ada dua penegasan fundamental berkaitan dengan ajaran Gereja tentang Sakramen. Pertama, Gereja adalah tempat menyimpan tanda-tanda yang ditetapkan oleh Kristus, yang dipercayakanNya pada Gereja supaya dipelihara dan dirayakan dengan setia. Kedua, tanda-tanda ini, karena mereka adalah tanda-tanda tindakan Kristus yang mulia, merupakan tanda-tanda yang berdaya rahmat. Dirancang olehNya untuk mengkomunikasikan penyelamatanNya dan dianggapNya sebagai tindakanNya sendiri, tanda-tanda itu tidak dihalangi dalam validitas mereka oleh kelemahan manusiawi dari para pelayannya, sejauh mereka bermaksud untuk mengkomunikasikan apa yang telah dipercayakan Kristus pada Gereja. Penerimaan akan tanda-tanda itu yang berbuah limpah tidak tergantung pada disposisi mereka yang merayakannya.
Selama berabad-abad, Gereja telah berkembang dalam kesadaran eksplisit akan kehidupan sakramentalnya. Doktrin sakramentalnya telah mengembangkan pelaksanaan kehidupan sakramentalnya; secara khusus, doktrin tentang jumlah tujuh sakramen secara eksplisit telah ditetapkan kurang lebih sejak periode-periode awal. Setelah lama dimiliki secara tenang, doktrin sakramental Gereja secara serius ditantang pertama kali oleh kaum reformasi. Gereja mempertahankan khasanah kesuciannya dan menegaskan dengan jelas daya guna obyektif yang melekat pada sakramen-sakramen yang ditetapkan Kristus. Namun, dalam proses penekanan daya guna ex opere operato dari tanda-tanda sakramental, teologi post Trente telah, secara luas, kehidulangan pandangan akan aspek personalnya. Hal ini ditekankan kembali pada tahun-tahun belakangan ini : sakramen-sakramen adalah perjumpaan personal Kristus dengan manusia dalam tanda-tanda Gereja. Maknanya bagi kehidupan Gereja juga mendapatkan penekanan baru : sebagai ungkapan kelihatan dan aktualitas yang terus menerus dari misteri Kristus, sakramen-sakramen adalah juga suatu manifestasi atau epifani dari misteri Gereja.
II. Sakramen-sakramen merupakan pengungkapan diri Gereja
1. Istilah “Sakramen-sakramen”
Kalau orang berbicara mengenai sakramen-sakramen (jamak), biasanya menunjuk pada 7 sakramen Gereja: baptisan, penguatan, ekaristi, pengampunan dosa, perminyakan suci, perkawinan, tahbisan. Jumlah tujuh sakramen diajakan Gereja sejak Konsili Forens (1439) dan ditegaskan Trente (1547).
Menurut Kitab Suci, istilah sakramen (mysterion) tidak serta-merta menunjuk pada ketujuh sakramen. Tetapi rencana keselamatan Allah yang diwujudkan dan terlaksana dalam sejarah dan memuncak dalam diri Yesus Kristus (Ef 1:9-10; Ef 3:9; Kol 1:26; Rom 16:25-26; Kol 2:2). Kristuslah yang disebut Mysterion itu, sehingga konsepsi mysterion-sakramentum itu pertama-tama Kirstologis. Dalam kitab suci ini, setiap bicara mengenai mysterion, ketujuh sakramen tidak pernah disinggung.
Di zaman Bapa Gereja (patristik), konsepsi sakramen masih dibicarakan dalam konteks sejarah keselamatan Allah dan pelaksanaan serta perwujudannya dalam sejarah yang berpuncak dalam Yesus Kristus. Konsepsi sakramen menujuk pada ketegangan dinamik antara yang manusiawi dan ilahi, kelihatan dan tak kelihatan. Filsafat Plato mendukung pemikiran Patristik: realitas yagn kelihatan merupakan tanda dan berpartisipasi dalam realitas yang tak kelihatan, yaitu misteri penyelamatan Allah dalam Kristus.
Pada abad pertengahan (tengah abad 12) dan reformasi s.d awal Abad 20 konsepsi sakramen mengalami penyempitan: karena pengaruh sistematisasi skolastik yang aristotelian, orang sibuk tidak dengan kenyataan sakramental, tapi dengan definisi sakramen, jumlah penetapan dan dayaguna sakramen. Dengan demikian, sakramen berarti ritus atau upacara Gereja yang ditetapkan Yesus sendiri dan berjumlah tujuh dan berdayaguna secara ex opere operato. Sejak itu istilah sakramen tidak lagi dipahami sebagai dinamik misteri sejarah keselamatan yang terwujud dalam Kristus. Jumlah itu diajarkan pertama oleh Florens 1439 dan diteguhkan Trente 1547.
Nah, pada paruh pertama abad 20 ini terjadi Gerakan Pembaruan yang berperanan dalam bidang sakramen dan teologi: pembaruan liturgi, kembali ke sumber, ekumenis, Teologi Misteri Odo Casel (1886-1948) yang menyumbang konsepsi asali tentang sakramen, yaitu pemahaman sakramen menurut KS dan Patristik. Intinya mengembalikan makna perayaan dan tanda pada sakramen, di mana Kristus dan tindakan penyelamatanNya hadir dan dirayakan.
Sekarang, sakramen pertama-tama menunjuk Yesus Kristus sendiri, sebagai sakramen Induk/pokok, sebab Allah Penyelamat yang tidak tampak itu hadir dan kelihatan dalam diri Yesus Kristus, “cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah” (Ibr 1:3). Kemudian Sakramen menunjuk Gereja sebagai sakramen dasar dalam hubungan dengan Kristus: apa yang nampak dalam Gereja menjadi simbol real yaitu tanda yang efektif dan menghadirkan keselamatan Allah yang terlaksana dalam Kristus bagi dunia. Akhirnya tujuh Sakramen merupakan konkretisasi Gereja sebagai sakramen dasar dalam kehidupan konkret manusia
2. Sakramen-sakramen merupakan pengungkapan diri Gereja Sebagai Sakramen Kristus
Tujuh sakramen yaitu baptis, penguatan, ekaristi, perminyakan, rekonsiliasi, perkawinan dan tahbisan merupakan pengungkapan diri Gereja sebagai sakramen Kristus. Di sini diungkapan tiga faham, yaitu sakramen-sakramen merupakan pengungkapan diri Gereja, Gereja merupakan Sakramen Kristus, dan Kristus sebagai sakramen. Kita mulai membahas dari yang paling pokok: Kristus sebagai Sakramen.
a. Kristus adalah Sakramen
Kristus adalah sakramen karena di dalam Kristus Allah Sang Penyelamat hadir dan kelihatan, di dalam Dia Allah mewujudkan dan melaksanakan karya penyelamatanNya bagi semua orang. Yesus Kristus adalah pribadi yang berciri sakramental, karena Dia adalah benar-benar manusia yang pernah hidup dan dalam Yesus Kita dapat berjumpa dan mengalami Allah sendiri. “Barang siapa telah melihat aku, ia telah melihat Bapa” (Yoh 14:9). Kristus adalah sakramen Induk: Yesus Kristus dengan seluruh pribadi dan karyaNya menjadi tanda dan sekaligus menghadirkan secara utuh Allah. Yesus tidak hanya mewartakan Allah, Bapa penuh belas kasih dan bahwa KerajaanNya sudah dekat, tetapi Yesus juga mengidentifikasikan diri dan pewartaanNya dengan Allah sendiri: mengajar sebagai orang yang berkuasa (Mark 1:22, Mat 7:29) “Aku berkata kepadamu, Siapa melihat Aku melihat Bapa”, “Akulah jalan kebenaran dan hidup” (Yoh 14:6-7), sikapNya menunjukkan kehadiran dan kedekata Allah sendiri pada manusia: mengampuni dosa (Mat 9:6), “Bapa di dalam aku dan Aku di dalam Bapa (Yoh 10:37-38). Lihat tuh Ibr 1:1-3 bahwa Dia adalah cahaya kemuliaan Allah dan gambar Allah.
Sebutan Kristus sebagai mysterion juga dipakai Ignasius Antiokhia (+110). Origenes: Yesus adalah logos yang menjadi manusia dan sakramen besar dan pertama karena dalam kemanusiaanNya Allah menampakkan diri dalam tanda. Paus Leo Agung menyebut Kristus sebagai sakramen utama dan terbesar. Agustinus menyebut Kristus sebagai sakramen dalam arti menandakan Allah, dalam diri Kristus tersembunyi dan terselubunglah Allah sendiri, sehingga bisa disebut sakramen keilahian dan kemanusiaan. Ajaran sakramentalitas Yesus nampak dalam paham Gereja: Kristus sungguh Allah, sungguh manusia (Kalsecon 451 menentang monofisitisme-keilahian Eutyches 450).
Vatikan II tidak eksplisit menyebut Yesus Kristus sebagai sakramen, tetapi memuat gagasan sakramentalitas Yesus (mis. DV.2, 4 LG 3, 4 ). Teologi kristiani tidak menyangsikan hal ini (Rahner, Schillebeeckx).
b. Gereja sebagai Sakramen Kristus (Sakramentalitas Gereja)
Sebagai ide, konsepsi “Gereja sebagai sakramen” sudah ada pada Patristik, namun baru menjadi peristilahan teologis sejak abad 19 (Anton Gunther, 1830). Diskusi mengenai konsepsi itu dikembangkan baru setelah PD II. Teologumenon itu diteguhkan Konsili Vatikan II. Umunya orang setuju kalau Yesus Kristus disebut Sakramen Induk, Gereja Sebagai Sakramen dasar, dan tujuh sakramen sebagai konkretisasi Gereja sebagai sakramen dasar.
Vatikan II membicarakan “Gereja sebagai sakramen dalam Lumen Gentium 1, 9, 48. LG.1 menyebut “Gereja bagaikan sakramen”. Istilah “bagaikan” menunjuk bahwa penggunaan kata “sakramen untuk Gereja masih dimengerti dalam arti yang bukan sebenarnya, sejauh orang masih berpikir dalam kerangka teologis yang biasa dan lama. W. Kasper menafsirkan Sakramentalitas Gereja dalam dokumen Vatikan II dalam 4 pokok berikut ini:
a. “Gereja sebagai sakramen keselamatan” harus dimengerti dalam keseluruhan eklesiologi Vatikan II, Jangan dimutlakkan, masih banyak ungkapan lain seperti: Umat Allah, Tubuh Kristus dll (LG.6 dan 7), yang menunjukkan bahwa pertama-tama Gereja merupakan misteri.
b. “Gereja sebagai Sakramen Keselamatan” selalu diletakkan dalam konteks kristologis yang kuat. Gereja itu bagaikan Sakramen dalam Kristus (LG 1). Yang menjadikan Sakramen keselamatan adalah Kristus (LG 48).
c. “Gereja sbg Sakramen Keselamatan” juga berada dalam konteks eskatologis (LG.5)
d. Ungkapan itu juga menunjukkan bahwa “sakramen” pada Gereja itu hanyalah analog dalam hubungan dengan peristilahan teologis tradisional, di satu pihak. Di lain pihak, istilah itu menujukkan realitas Gereja yang kompleks yang memuat kesatuan tegangan antara yang kelihatan dan tidak kelihatan, manusiawi-ilahi, dan misteri itu hanya dapat dipahami dengan iman (LG.8). Gereja disebut sakramen berarti Gereja menjadi simbol real: tanda efektif dan menghadirkan keselamatan Allah yang telaksana dalam Kristus bagi dunia.
3. Ketujuh Sakramen sebagai Konkretisasi Gereja sebagai Sakramen Dasar
Orang jaman sekarang makin sulit memahami simbol, namun manusia tidak pernah melepaskan diri dari dunia simbol. Manusia mengungkapokan dan melaksanakan dirinya daam simbol. Simbol itu ada yang berifat informatif (menunjuk kenyataan di luar dirinya), dan simbol yang melaksanakan apa yang ditandakan. Begitulah Schoonenberg. Semua simbol dalam sakramen-sakramen kita termasuk jenis simbol kedua (ekspresif).
Sakramen-sakramen pertama-tama hidup sebagai praksis liturgis bagi suatu perayaan iman Gereja. Maka liturgi merupakan konteks hidup sakramen-sakramen. Sakramen-sakramen itu memiliki beberapa sifat dasar. Pertama, sifat perjanjian: merupakan perayaan aktualiasai Perjanjian Baru yang didirikan Kristus dalam bentuk tanda dan sabda. Kedua, Sifat Perjumpaan-komunikatif: sakramen-sakramen merupakan perjumpaan antara Allah dan manusia melalui Kristus dalam Roh Kudus, yang berlangsung dalam bentuk tanda. Dalam liturgi sakramen terjadi dialog perjumpaan yang menyelamatkan: pengudusan manusia (katabatis) dan pemuliaan Allah (anabatis). Ini di SC 5. Empat unsur liturginya (L. Lies): anamnese, epiklese, koinonia, prophora/persembahan-Kristus. Ketiganya: sifat kebersamaan yang sekaligus merupakan pengandaian dan buah perayaan. Kaping patnya: sifat sejarah keselamatan.
Tentang tingkatan sakramen-sakramen, tidak semua sama. Puncak dan pusat sakramen dan seluruh liturgi adalah Perayaan Ekaristi, bahkan puncak dan pusat seluruh hidup Gereja (LG.11), karena dalam suatu Misteri Paskah Kristus dikenangkan dan dihadirkan secara sakramental menurut intensitasnya yang paling dalam dan padat. Baptis menjadi jalan masuk supaya orang bisa menerima sakramen lain. Ekaristi dan baptis disebut sacramenta maiora (istimewa-lah tempatnya), lima lainnya s.minora. Dengan baptis, orang dimasukkan ke dalam Gereja dan dilahirkan kembali menjadi anak-anak Allah. Keduanya plus krisma menjadi sakramen inisiasi. Dengan baptis dan Krisma, orang telah menjadi umat beriman dan warga Gereja yang penuh dan berhak merayakan ekaristi dengan seluruh peran aktifnya. Dengan tobat, orang dianugerahi pengampunan dan pendamaian dengan Allah dan Gereja sehingga boleh ekaristi lagi secara pantas. Dengan perminyakan suci, orang beriman diserahkan kepada Tuhan yang sengsara dan mulia, agar Dia menyembuhkan dan menyelamatkan. Dengan sakramen tahbisan dan perkawinan terungkap dimensi dan fungsi sosial-eklesiologis.
4. Sakramen-sakramen menjadi Lambang serta Sarana Penyelamatan
Penyelamatan manusia merupakan kehendak Allah dan itu diwujudkan dan dilaksanakan dalam Yesus Kristus. Yesus Kristus menjadi sakramen induk, artinya dalam dialah terjadi sejarah penyelamatan Allah. Kristus menjadi lambang dan sarana Allah yang menyelamatkan umat manusia. Yesus Kristus merpakan kehadiran Allah sendiri di tengah umatNya, kehadiran yang menyelamatkan dan menebus kita. (Kis 4:12). Kristus menjadi simbol dan tanda yang hidup dari kehadiran Allah dan sekaligus menghadirkan keselamatan yang hanya berpangkal dan mungkin dikerjakan oleh Allah saja.
Sekarang, tindak penyelamatan Allah itu dilanjutkan oleh Allah dalam Gereja, Tubuh Kristus. Gereja didirikan oleh Kristus bukan untuk dirinya sendiri, tetapi untuk tujuan penyelamatan itu. Gereja menjalankan fungsi penyelamatan yang diembannya dalam Roh Kudus yang dijanjikan Kristus. Gereja merupakan tanda dan tempat kehadiran Kristus. Gereja adalah tanda kehadiran Allah yang menyelamatkan sebagaimana terlaksana dalam Yesus Kristus. Oleh karena itu, Gereja juga disebut sakramen dasar karena Kristus. Kalau demikian, Gereja menjadi lambang dan sarana penyelamatan Allah yang terwujud dalam Kristus.
Pelaksanaan tindak penyelamatan Allah dalam Yesus melalui Gereja itu secara konkret terjadi dalam liturgi baptis, ekaristi, krisma, tobat, minyak suci, tahbisan dan perkawinan. Dari segi Gereja, sakramen-sakramen ini merupakan konkretisasi dari Gereja sebagai sakramen dasar. Dengan perayaan sakramen, maka terungkaplah, ditampilkanlah, dan terlaksanalah apa yang disebut Gereja (SC 2). Gereja adalah kumpulan umat beriman dan kumpulan itu secara jelas menampilkan dirinya dalam perayaan liturgi sakramen (bdk. LG 26). Dari segi dinamika penyelamatan Allah, maka sakramen-sakramen itu menjadi lambang dan sarana penyelamatan itu. Lambang di sini dalam arti simbol ekspresif, tanda yang sekaligus menjalankan apa yang ditandakan. Sarana berarti menjadi alat.
Berkaitan dengan daya guna sakramen-sakramen itu, perlu diperhatikan bahwa dayaguna sakramen menjadi real dan terwujud jika penerima memiliki intentio recioiendi quod facit ecclesia (penerima punya maksud menerima apa yang dibuat Gereja), sedang demi sahnya pelayan sakramen juga harus memiliki intentio faciendi quod facit ecclesia (ia punya kehendak dan bertindak sesuai yang dimaui Gereja), serta simbol sakramennya sah. Kalau disposisinya belum penuh, kita mengenal reviviscentia sacramentorum.
Secara khusus tentang lambang Dibedakan: Materia remota : barang materialnya; Materia proxima : Tindakan yang menyertai; Forma: Kata-kata yang mengiringi dan menjelaskan tindakan; Pelayan tertentu: orang tak bisa menerimakan sakramen untuk dirinya sendiri kecuali imam untuk ekaristi dan kedua mempelai dalam perkawinan. Lambang itu punya 2 arti : Arti biasa manusiawi dari tanda sakramental yang kelihatan dan Arti rohani yaitu arti penyelamatan yang tak langsung kelihatan namun dilambangkan. Berdasarkan tujuan dan akibat dibedakan: Sacramentum tantum : upacara sah minimal dari materia dan formanya; Res tantum : isi dan tujaun sakramen itu yaitu persatuan dengan Kristus; Sacramentum et res: akibat pertama dari sakramen itu. Hal ini menyangkut perubahan status berkat sakramen yang diterima (mis. imamat). Secara khusus tentang sarana: Sakramen bukan hanya tanda lahiriah melainkan juga sarana yang mewujudkan rahmat, menyampaikan, mengerjakan rahmat. Sakramen sebagai sarana bicara tentang efektifitas sakramen yang oleh teologi dirumuskan:
· Ex opere operato : daya guna sakramen tak tergantung pada keimanan atau disposisi moral si pelayan atau penerima, melainkan bergantung pada tindakan Allah sendiri.
· Ex opere operantis : merupakan lawan dari konsep ex opere operato. Daya guna nya tergantung pelayan atau penerimanya.