Selasa, 13 Mei 2008

Makna sakramen Babtis

Sakramen Babtis
I. Makna Sakramen Babtis
Perayaan babtisan yang kita rayakan dalam Gereja memliki dasarnya yang kuat dalam praksis Gereja perdana. Kata “Babtis” berasal dari kata Yunani baptizein baptizein yang berarti membenamkan, mencemplungkan atau menenggelamkan ke dalam air, entah seluruhnya atau sebagian.

a. Tradisi Israel
Tradisi Israel mengenal macam-macam pentahiran (im 11-15), termasuk pentahiran menggunakan percikan air (Bil 19,17-22), mandi si sungai (2 Raj 5, 14). Aneka ritus pentahiran yang menggunakan air pada orang Yahudi ini terutama berkembang sejak zaman sesudah pembuangan. Ritus pembersihannya sangat rinci dan rumit untuk orang Yahudi yang mengalami kenajisan seperti menyentuh mayat, orang yang sakit kusta, binatang haram, dsb. Pembasuhan diri sebagai upacara pentahiran dengan menenggalamkan diri dalam air yang bersih dan mengalir ini pada tradisi Yahudi merupakan upacara yang dapat diulang-ulang. Ini berkembang menjadi ritus pembabtisan untuk kelompok Eseni. Dengan babtisan ini, mereka memandang diri sebagai orang-orang atau kelompok terpilih. Ini menjadi semacam inisiasi bagi orang-orang non-Yahudi yang ingin menjadi orang atau warga Yahudi. Kaum proselit itu menjalani ritus babtisan selain juga harus menjalani sunat yang merupakan syarat pokok untuk masuk ke dalam kalangan religius Yahudi. Babtisan Proselit hanya dilakukan sekali saja dan tidak dapat diulangi.

b. Babtisan Yohanes Pembabtis.
Dari segi upacara, babtisan Yohanes seperti babtisan preseit tidak dapat diulang, tetapi berbeda dari babtisan proselit, babtisan Yohanes itu bukan babtisan oleh diri sendiri. Babtisan Yohanes ialah babtisan yang diterimakan oleh Yohanes sebagai nabi utusan Allah. Jadi orang dibabtis oleh orang lain, yakni Yohanes. Babtisan Yohanes merupakan babtisan unutk pengampunan dosa. Pertobatan yang diserukan oleh Yahanes ini tertama berkaitan denagn persiapan diri akan kedatangan Kerajaan Allah (Mat 3, 1-12). Yesus juga merelakan diri dibabtis oleh Yohanes. Dalam Gereja perdana, muncul suatu perselisihan antara murid-murid Yohanes dan murid-murid Yesus Kristus (mat 9,14; Luk 11,1) mengenai siapa yang terbesar diantara dua tokoh ini. Dengan membiarkan diri dibabtis oleh Yohanes, terdapat kesan bahwa tokoh Yohanes lebih besar daripada tokoh Yesus. Padahal, kita memahami bahwa dalam lingkungan kristiani, tokoh Yesus pastilah lebih besar daripada siapapun juga, termasuk Yohanes. Ada dua alasan mengapa Yesus mau dibabtis oleh Yohanes. Pertama, Yesus mau menemparkan diri sebagai pribadi yang ikut menantikan Kerajaan Allah pada akhir zaman. kedua, Yesus mau menunjukkan solidaritas pada bangsa-bangsa yang membutuhkan penyelamatan dari Allah (mat. 3,15).

c. Gereja perdana jelas mempraktikan babtisan kristiani bagi mereka yang mau bergabung ke dalam kelompok murid ( kis 2, 38-41; 8,16; 10,48; 1 kor 12,13). Babtisan kristiani berbeda dengan babtisan proselit karena babtisan kristiani merupakan babtisan yang dilakukan oleh orang lain sebagai pelayannya. Babtisan Kristiani dilakukan dalam nama Yesus Kristus (Kis 2, 38; 10,48) atau dalam nama Tuhan Yesus (kis 8,16).

d. Makna teologi babtisan dalam Perjanjian Baru:
1. Babtisan sebagai tanda iman. Babtisan itu mengandaikan iman dan di lain pihak iman dari orang yang dibabtis harus dihidupi dan dikembangkan dalam seluruh hidupnya (Mat 28,19).
2. Babtisan sebgai penyerupaan pada Yesus Kristus. Dengan babtisan ini, kita menjadi serupan dengan Yesus Kristus (kis 2,38;10,48).
3. Babtisan sebagai pengampunan dosa. Makna babtisan sebagai karunia pengampunan dosa tampak dalam kata-katak st. Petrus “bertobatlah dan hendaklak kamu masing-msing memberi dirimu dibabtis dalam nama Yesus Kristus untuk pengampunan dosa (Kis 2, 38).
4. Babtisan mengaruniakan Roh Kudus. Melalui babtisan, kita menerima karunia Roh Kudus. Karunia Roh Kudus memampukan para rasul mengalami Tuhan yang bangkit dan membuat mereka bisa berbicara dengan macam-macam bahasa sehingga semua orang bsia mengerti pewartaan Injil itu (Kis 2,4.8-11).
5. Babtisan mempersatukan kita ke dlaam satu tubuh: Gereja. Melaui babtisan, Gereja dibangun dan tubuh, memasukan setiap pribadi ke dalam suatu relasi orang-orang Kristiani yang memiliki martabat yang sam adan hidup menurut jiwa solidaritas sebagaimana tampak dalam Kis 2, 41-47.
6. Babtisan sebagai karunia hidup baru. Yohanes mengembangkan gagasan babtisan sebagai kelahiran baru. Melalui babtisan, seseorang dilahirkan kembali dalam roh. Ia dikaruniai hidup baru dan sepanjang hidupnya, ia harus mewujudkannya dalam gaya hidup dan tindakannya sehari-hari.

II. Babtisan dalam praksis dan ajaran Gereja
1. Gereja sejak awal menyadari bahwa iman dan hidup sebagai murid merupakan suatu proses pertumbuhan yang berlangsung lama dan membutuhkan bantuan struktural. Artinya orang yang sudah dibabtis maupun orang yang belum dibabtis dan ingin dibabtis perlu mendapat pelajaran dan bimbingan mengenai iman Gereja.
2. Ajaran dan praktik babtisan pada zaman bapa-bapa Gereja masih terus mengembangkan seuruh warisan pemahaman biblis terhadap babtisan.
3. Perkembangan baru terjadi dengan ritus babtisan dan inisiasi umumnya yang ditandai dengan terbentuknya model tahapan dalam babtisan dan inisiasi.
a. Orang-orang yang ingin menjadi kristiani harus menjalani masa katekumenat yang berlangsung selama 3 tahun.
b. Beberapa minggu sebelum malam paska merupakan masa persiapan intensif untuk persiapan babtis.
c. Perayaan dan penerimaan sakramen-sakramen inisiasi dilangsungkan dalam perayaan liturgi malam paska.
d. Pada masa paska, warga gereja yang baru ini menjalani masa mistagogi, yaitu masa untuk memperdalam, memantapkan, dan menghayati iman akan misteri Kristus, serta membiasakan diri pada kebiasaan dan tradisi Gereja.
4. Pada abad IV-V, ada pergeseran perhatian teologis dari penerima babtisan bergeser ke masalah pelayan babtisan. Ini berkembang karan ada masalah dengan donatisme yang menolak keabsaah babtisan yang diberikan oleh orang-orang berdosa dan diskusi yang ramai mengenai dosa asal. Ada pelagianisme yang menolak paham dosa asa.
5. Ada kelompok orang-orang armenia yang ingin bergabung ke Gereja Katolik. Pada konsili florenz( 1439) menyampaikan ajarannya mengenai sakramen babtis yang dipahami sebagai pintuk gerbang kepada kehidupan rohani karena dengan babtisan kita menjadi anggota Kristus dan ditambahkan ke tubuh Gerea. Konsili ini mengungkapkan tentang daftar materia dan forma sakramen babtisan, juga macam rahmat sakramenyang diberikan serta kepada siapa yang dapat menjadi pelayannya.
6. Sejak abat 20 mulai berkembang secara pelan suatu penyerdehanaan ritus inisiasi di Gereja Barat. Pada abad ini juga berkembang gerakan di bidang liturgi, teologi, dan bahkan berbagai bidang kehidupan Gereja. Babtisan dan Krisma merupakan sakramen yang tak terpisahkan dari inisiasi Kristiani yang bersama dengan Ekaristi menjadi sakramen inisiasi yang utuh.
7.
III. Refleksi sistematis: Makna Teologis Sakramen Babtisan
1. Babtisan mempersekutukan kita dengan Yesus Kristus. Babtisan memasukkan seseorang dalam relasi intim dengan Yesus Kristus, ke dalam seluruh peristiwa Yesus Kristus (rm. 6,1-14).
2. Babtisan mempersekutukan kita dengan Allah Tritunggal. Dengan senasib dan bersekutu dengan Yesus Kristus, kita diperskutukan dengan Allah Tritunggal sendiri. Melalui babtisan, kita dimasukkan ke dalam komunitas kasih trinitaris, yaitu dialog kasih antara Bapa dan Putra yang berlangund dalam Roh Kudus. Roh Kudus yang dicurahkan dalam hati kita memungkinkan kita untuk bisa mengalami persekutuan dengan hidup internal dari Allah Tritunggal.
3. Babtisan memasukkan kita ke dalam persekutuan Gereja. Dengan babtisan, seseorang dimasukkan ke dalam Gereja. Denagn dibabtis, seseorang diterima sebagai anggota baru Gereja. Babtis meliputi dua macam gerak, yaiitu realitas komunikasi dan perjumapaan. Seseorang dimasukkan ke dalam Gereja sekaligus Gereja menjadi hidup dan tumbuh dalam diri orang tersebut.
4. Babtisan sebagai ikatan kesatuan ekumenis. Dengan babtisan, kita dipersatukan dengan seluruh umat beriman yang menerima rahmat tahbisan.
IV. Nama Permandian
Nama babtis mempunyai tiga arti, yaitu:
1. Agar keutamaan, kesucian, dan keteladanan orang suci itu terpancar pada orang atau anak itu.
2. Agar orang suci itu membantu orang atau anak itu melalui doa dan relasi khususnya dengan orang tersebut, sehingga orang itu dapat hidup pantas bagi Allah.
3. Nama babtisan itu juga merupakan simbol hidup baru yang diterimanya melalui babtisan.

Gelar-gelar Yesus: Perjumpaan dengan Allah dalam Peristiwa Yesus

Gelar-gelar Yesus: Perjumpaan dengan Allah dalam Peristiwa Yesus
Dialog dengan tradisi-tradisi Kristiani memberikan kesaksian iman mengenai perjumpaan dengan Allah melalui peristiwa Yesus Kristus. Umat beriman kristiani berjumpa dengan orang-orang yang memberikan kesaksian iman.
[1] Melalui proses mendengarkan, iman kita dilahirkan dan dikembangkan. Di sini, tradisi-tradisi kristiani dimengerti secara luas, yaitu semua saja yang menampilkan kesaksian mengenai Yesus Kristus, seperti ajaran Gereja, pemikiran teologis, spiritualitas, praksis Gereja dan terutama Kitab Suci. Dari tradisi-tradisi Kristiani ini pula, kita sampai pada perumusan ajaran iman mengenai siapa Yesus bagi umat Kristiani, yang direfleksikan dalam konteks pengalaman manusiawi mengenai Allah.
Pengalaman dan pemahaman manusia mengenai Allah terjadi dalam dunia melalui suatu mediasi, entah itu peristiwa, orang, situasi, teks-teks kitab suci ataupun benda-benda. Mediasi tersebut dapat disebut gelar religius. Sebagai kenyataan dalam dunia ini, gelar religius mempunyai sifat terbatas, tetapi menunjuk yang mengatasinya, yaitu Allah yang transenden dan tak terbatas. Yang tak terbatas dialami dalam dan melalui gelar religius yang terbatas. Gelar religius terbatas ini memang menunjuk keseluruhan dari Yang tak terbatas, tetapi sekaligus juga mengkhususkan, memfokuskan, mentematisasikan dan membatasi. Allah mewahyukan diri kepada manusia dalam dunia. Gelar-gelar mengenai Yesus muncul dari hidup manusia dalam dunia ini, bahkan dalam konteks tertentu pula. Pemahaman mengenai Yesus Kristus sekaligus juga pemahaman mengenai eksistensi manusia dalam hubungan dengan Yesus Kristus.

1.1 Nabi
[2]
Yesus dikenal sebagai seorang nabi (Mat. 21,11; Lk. 7, 16; 24,19; Yoh 4,19;9,17). Yesus sendiripun berkata mengenai diriNya, “Seorang nabi di hormati di mana-mana kecuali di tempat asalnya sendiri, di antara keluarganya dan di rumahnya” (Mk 6,4; Lk. 4,24; Yoh 4,44). Pengalaman Yesus pada saat permandian (Mat 3,13-17) dapat dipandang sebagai pengalaman panggilan seorang nabi (Yes 6,1-10)[3]. Yesus telah berkiprah sebagai seorang yang memiliki kuasa (eksousia) yang pasti merupakan ciri kenabian. Di dalam tradisi alkitabiah, kewibawaan seorang nabi diakui dan diterima apabila ia dikuasai oleh Roh Allah. Penampilan Yesus mengingatkan orang akan tokoh Perjanjian Lama maupuan akan Yohanes Pemandi yang juga disebut “nabi” (Mat 11,9; 14,15; Luk 1,76).
Pada waktu kaum keluarga Yesus dan orang-orang lainnya kuatir bahwa Yesus sudah tidak waras atau bahwa ia mungkin telah dirasuki setan, Ia menanggapi dengan memuji dan memuliakan kehadiran Roh Kudus dan kehendak Allah (Mk. 3, 21-35). Karena Yesus dikenal tidak hanya sebagai seorang nabi, tetapi sebagai seorang nabi akhir zaman, sebagai Dia yang memberitakan telos (maksud akhir) dan finis (tujuan akhir) Allah dan sebagai Dia yang mendatangkan dan mewujudkan “tindakan akhir Allah yang paling menentukan untuk menyelamatkan umatNya. Yesus tidak hanya memberitakan Kerajaan Allah dan meminta tanggapan iman, tetapi Ia juga telah mempertaruhkan hidupNya sendiri dengan menempuh bahaya demi kebenaran yang menjadi isi amanatNya.

1.2 Anak Manusia
[4]
Dalam Perjanjian Baru, Kata “Anak Manusia” dipakai sebanyak 82 kali, yaitu 67 daripadanya injil synoptik, 13X dalam Yohanes, dan Kis 7:56, Why 14:14.[5] Kata Anak Manusia dipakai oleh Yesus sendiri dalam arti “saya”. Kadang-kadang dalam teks-teks paparel memang ditulis “saya” ganti “Anak Manusia” (Luk 12,8; Mat 10,32). Banyak ahli berpendapat bahwa sebutan Anak Manusia berasal dari Yesus sendiri. Dalam Mrk 14,62, Anak Manusia terang mempunyai arti mesias, dan barangkali ayat itu dirumuskan dengan pertolongan Dan 7,13. R. Bultmann membedakan tiga sabda mengenai Anak Manusia:
1. Anak Manusia yang akan datang, khususnya sebagai hakin dimasa yang akan datang,
2. Anak Manusia yang bersengsara, teristimewa yang disebut dalam ramalan sengsara,
3. Anak Manusia yang berkarya di dunia, biasanya penuh kuasa.
Secara umum boleh dikatakan bahwa Yesus berbicara mengenai dirinya sendiri dengan mempergunakan sebutan Anak Manusia. Fakta bahwa Gereja Purba tidak mempergunakan Anak Manusia sebagai gelar kristologis merupakan argumen yang kuat untuk mempertahankan bahwa sebutan itu berasal dari Yesus. Kalau Yesus menyebut dirinya dengan sebutan Anak Manusia, apa artinya? Jawaban harus dicari dalam pewartaan Yesus sendiri, yakni pewartaanNya mengenai Kerajaan Allah. Kerajaan Allah menjadi begitu sentral dalam pewartaan Yesus, sehingga hidup dan pribadi Yesus harus dimengerti dalam hubungan dengan Kerajaan Allah. Anak Manusai harus dimengerti dalam hubungan dengan Kerajaan Allah itu. Dapat dikatakan bahwa sabda mengenai Anak Manusia datang atau dari Yesus sendiri atau dari jemaat purba. Anak Manusia adalah gelar eskatologis, dan sangat tidak jelas baik artinya ataupun asal-usulnya. Teks tentang Anak Manusia terdapat dalam: Mt 9,6; 12,8; 17,8;25,18, Mrk 2,10, 8,31; 9,9, Luk 5,24; 6,5; 9,22, Yoh 1,51; 3, 13; 5,27.

1.3 Anak Allah
[6]
Dalam Perjanjian Baru, ada dua cara pemakaian sebuatan Anak Allah: atau sebagai semacam gelar atau sebagai ungkapan relasi khusus Yesus dengan Allah. Anak Allah mempunyai arti gelar, langsung kelihatan dari perbandingan teks-teks ini: Yoh 1,49; Luk 4,41; Kis 9, 20-22. Melalui teks-teks ini kelihatan bahwa “mesias” (=kristhos) disebut Anak Allah. Gelar Anak Allah umum dipakai di dalam lingkungan Yunani-Romawi dan diterapkan pada diri kaisar atau dewa-dewa kafir. Dalam tradisi Israel gelar Anak Allah diterapkan untuk raja (2Sam 7,14) dan untuk Israel (Kel 4,22).
Dalam Perjanjian Baru, sebutan Anak Allah mempunyai dua arti, yaitu sebagai gelar dan relasi Yesus dengan Allah
[7]. Sebagai gelar kebesaran, sebutan Anak Allah menunjukkan keluhuran Yesus (bdk. Ki 13:32-33). Keluhuran itu terutama menunjuk pada pengalaman paska. Lewat pengalaman paska, pandangan para murid akan Yesus makin transenden, makin dimuliakan dan diilahikan. Gelar Anak Allah juga merupakan pengakuan iman khas kristiani, namun bukan dalam arti julukan kehormatan (Yoh 20,31). Dengan sebutan Anak Allah, mau ditunjukkan siapa Yesus sebenarnya. Dalam konteks ini sebutan Anak Allah, pertama-tama mau menunjuk hubungan Yesus dengan Allah (Mt 11, 27; Luk 10, 22). Relasi khusus Yesus dengan Allah ini nampak jelas dengan menyebut Allah sebagai Bapa (Yoh 5,17).
1.4 Kristus
[8]
Kata “Kristus” (Yunani “Christos”, Ibrani “Mesias”) mempunyai arti ‘yang terurapi’.
[9] Kata ini berasal dari Perjanjian Lama dan Yudaisme. Gelar itu dipakai bagi raja-raja yang duduk di atas tahta Daud dan mempunyai warna politis. Meskipun seroang raja Israel diurapi oleh manusia, namun pengurapan itu dilihat sebagai tindakan Allah (1Raj 9,3). Dengan pengurapan itu, diungkapkan pemberian Roh Tuhan sebagai mesias (Yes 61). Pada perkembangan sejarah Kerajaan Israel, dimana tidak ada raja yang memenuhi harapan, sebutan Kristus/Mesias diarahkan kepada raja yang ideal. Disinilah muncul pemahaman mesias eskatologi, yakni raja ideal yang diharapkan pada akhir zaman. Janji akan kedatangan mesias itu beragam. Deuteroyesaya melukiskan mesias itu sebagai “hamba yang bersengsara” (Yes 53), dalam Dan 7, 11 mesias adalah Anak Manusia.
Dalam Perjanjian Baru gelar Kristus dikenakan pada Yesus. Ini mau menunjukkan fungsi, misi, tugas Yesus yang merupakan jawaban terhadap situasi fundamental. Yesus tidak pernah menyebut diri-Nya Mesias. Dalam Perjanjian Baru ada tiga teks yang menampilkan aspek mesianis Yesus:
1. Tulisan pada salib (Mrk 15, 26). Orang Romawi memandang Yesus sebagai mesias dalam arti politis yang memberontak.
2. Yesus dihadapan mahkamah agama (Mrk 14, 53-65)
3. Pengakuan Petrus (Mrk 8, 27-33).
Teks ini yang paling jelas bicara mengenai mesianitas Yesus. Mesias yang dimaksud adalah “Anak Manusia yang menderita sengsara dan ditolak oleh tua-tua dan para imam lalu dibunuh dan bangkit sesudah tiga hari” (Mrk 8,31). Gelar Kristus bagi Yesus secara khusus berkaitan dengan peristiwa salib dan wafat-Nya. Saat penyaliban, istilah Kristus hanya sebagai ejekan (Mrk 15,32), namun setelah peristiwa kebangkitan, para murid memaknainya sebagai nama kehormatan dan kemuliaan.

1.5 Tuhan
[10]
Kata “Tuhan” merupakan terjemahan dari bahasa Yunani “Kyrios”. Kata ini dipakai untuk menyebut pemilik, tuan, majikan, penguasa yang memerintah raja-raja. Dalam arti kyiros tidak mempunyai arti religius. Tetapi dalam dunia Yunani, kyrios juga memiliki makna religius, yakni untuk menunjuk para dewa-dewi yang memiliki kuasa dan hak atas hidup manusia. [11]
Dalam terjemahan Perjanjan Lama, kata Tuhan biasa digunakan untuk menyebut Allah, sebab Israel juga mengenal penggunaan kata ‘tuan’, ‘tuhan’ untuk menunjuk para pemilik tanah, raja atau majikan. Dalam bahasa Ibrani istilah itu dipakai kata adonai, adon. Adonai mau mengungkapkan diri Allah yang memiliki bangsa Israel dan juga menguasai langit dan bumi, sebab Dia adalah Sang Pencipta yang kemuliaan-Nya memenuhi ciptaan-Nya (Mzm 114,7 Yes 1,24; 3,1).
Dalam Perjanjian Baru, kata Tuhan dikenakan untuk gelar Yesus. Gelar Tuhan adalah gelar kebangkitan. Tulisan Paulus cukup konsekuen dalam menggunakan gelar ini. Gelar Tuhan pertama-tama digunakan untuk Dia yang dibangkitkan atau Dia yang mulia dan ditinggikan karena kebangkitan. Flp 2, 9-11, “Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengurniakan kepada-Nya nama diatas segala nama, supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut…”
Dalam Gereja Perdana, sebutan Tuhan dikenakan pada Yesus. Jemaat kristen sadar bahwa Yesus yang menderita dan wafat di salib itu kini bangkit dan ditinggikan oleh Allah menjadi Tuhan. Sebaga Tuhan, kini Yesus mempunyai kuasa bumi atas langit (Mt 28,18). Dalam tardisi PL, kuasa itu hanya dimiliki Allah. Sebagaimana Allah adalah penyelamat, kini Yesus di dalam Allah yang bertindak dan menyelamatkan (Yoel 2,32, Rm 10,9). Maka dengan sebutan Tuhan, Yesus mau disejajarkan dengan Allah sendiri yang berkuasa dan sebagai penyelamat. Yesus sebagai Tuhan bagi jemaat kristiani menjadi pokok keselamatan (Ibr 5,9) dan pusat Gereja.


[1] JB. Banawiratma. “Kristologi dalam Pluralisme Religius” dalam Orientasi Baru… 75-76.
[2] A. Roy Eckardt. Menggali Ulang Yesus Sejarah. Kristologi Masa Kini… 27-28
[3] Tom Jacobs. Emanuel. Perubahan dalam Perumusan Iman Akan Yesus Kristus… 51
[4] Tom Jacobs. Emanuel. Perubahan dalam Perumusan Iman Akan Yesus Kristus… 96-98.
[5] Tom Jacobs. Siapa Yesus Kristus Menurut Perjanjian Baru… 147-150
[6] A. Roy Eckardt. Menggali Ulang Yesus Sejarah. Kristologi Masa Kini… 32-35
[7] Tom Jacobs. Siapa Yesus Kristus Menurut Perjanjian Baru… 96, 145-147.
[8] A. Roy Eckardt. Menggali Ulang Yesus Sejarah. Kristologi Masa Kini… 30-32
[9] Tom Jacobs. Emanuel. Perubahan dalam Perumusan Iman Akan Yesus Kristus… 76-77.
[10] A. Roy Eckardt. Menggali Ulang Yesus Sejarah. Kristologi Masa Kini…29-30
[11] Tom Jacobs. Emanuel. Perubahan dalam Perumusan Iman Akan Yesus Kristus… 104-105

Siapa Allah Bagimu?????

Siapa Allah Bagimu????

R. Haight mengungkapkan ada sekitar 10 simbol mengenai Allah dalam pemahyuan kristiani. Simbol-simbol ini tidak dimaksudkan sebagai sistematisasi lengkap. Yang dikemukakan bukan deskripsi obyektif mengenai Allah, melainkan bagaimana Allah dipahami dan diungkapkan dlaam simbol-simbol pehayuan kristiani ini
[1]. Simbol-simbol tersebut adalah:
1. Allah itu transenden. Allah adalah yang kudus, mulia, agung tak terbatas. Obyek pengalaman religius ini adalah mysterium tremendum et fascinans. Pernyataan mengenai Allah yang transenden berarti pengakuan mengenai Allah sebagai completely or totally other. Allah itu mengatasi apa yang dapat diketahui oleh manusia. Allah itu tak terbatas.
2. Allah itu imanen. Allah tidak hanya dialami sebagai yang transenden, sumber, dan asal-usul, melainkan juga sebagai dasar terdalam dari kehidupan. Allah tidak hanya menciptakan dunia seperti tukang periuk. Allah tidak hanya berda jauh di luar, melainkan hadir pada semua yang ada. Segalanya berada dalam lingkup Allah, berada dalam kuasa Allah. Simbol untuk ini dalam Alkitab adalah Roh Allah yang menunjuk daya kuasa Allah yang imanen dan memberi hidup kepada semua yang ada. Allah bukanlah Allah di luar siptaan, bukan Alah yang jauh dari atas memandang ciptaan secara obyektif. Allah yang transenden adalah imanen dan yang hadir di mana-mana.
3. Allah adalah Pencipta. Simbol dan ajaran mengenai penciptaan sesuai dengan pengalaman manusiawi yang sepenuhnya tergantung pada sumber di luar dirinya, di luar dunia. Simbol pencipta menggarisbawahi transendensi Allah. Allah adalah sumber, asal-usul, penyangga kehidupan. Allah tidak hanya bertindak sesaat kemudian berhenti. Setiap saat Allah menyangga kehidupan. Setiap saat bertindak menciptakan. Manusia tergantung secara mutlak pada Allah. Manusia diciptakan dari ketiadaan. Alternatif dari hidup yang diciptakan oleh kuasa Allah adalah ketiadaan (nothing). Ciptaan Allah bukanlah Allah. Simbol penciptaan sekaligus demitologisasi dan sekularisasi dunia yang terbatas ini. Dunia terbatas ini bukanlah Allah. Berhadapan dengan dunia, secara relatif manusia adalah otonom dan dipanggil untuk ikut serta dalam proses penciptaan dalam sejarah. Kebebasan dan otonomi manusia merupakan anugerah sekaligus bergantung secara absolut pada Allah.
4. Allah itu personal. Allah dalam tradisi Yahudi-Kristen adalah Allah yang disapa. Kepadanya orang berdoa, berbicara, dan menyampaikan permohonan-permohonan maupun segala perasaan. Allah berhubungan denagn manusia secara personal. Relasi Allah dengan manusia tdak hanya terjadi secara individual melainkan juga secara komunal. Simbol relasi itu dalam Perjanjia Lama disebut perjanjian. Manusia berkenan pada Alalh, dirahmati, menjadi kesukaan Allah. Relasi manusia dengan Allah secara perorangan maupun kelompok tidaklah eksklusif. Perjanjian Allah diadakan dengan semua orang. Simbol ini perlu diimbangi dengan penerimaan akan kenyataan dosa manusia.
5. Allah penyelenggara. Sombol penyelenggaraan Allah menggarisbawahi simbol-simbol yang sudah dibicarakan. Penyelenggaraan menunjuk kekuasaan kreatif personal dari Allah. Transendensi maupun imannesi Allah tidaklah statis, melainkan dalam konteks waktu, proses dan sejarah. Allah menyelenggarakan berari bahwa Allah yang mengetahui sebelumnya, memelihara ciptaan seperti orang tua. Pemeliharaan dan pengerahan itu tidak merupakan saingan kebebasan dan otonomi manusia, melainkan segalanya berada dalam bimbingan dan pengetahuan kebijaksanaan dari kekuasaan Allah.
6. Allah adalah kasih, Dalam kitab Suci terdapat banyak sekali simbol-simbol yang menunjukkan kasih Allah. Yesus berbicara mengenai Allah sebagai Bapa, suatu simbol yang tidak mau menunjuk bahwa Alalh itu laki-laki. Yang mau diungkapkan adalah pemeliharaan penuh kasih dari ayah-ibu kepad aanak-anaknya. Santo Yohanes menyebut Allah adalah kasih. Allah adalah Allah bagi dunia, bagi manusia. Allah memanggil manusia yang bebas ke dalam relasi kasih timbal balik. Kasih Allah itu setia dan tetap. Dalam kerangka alam pikiran Yunani, Allah itu berubah. Dalam konteks historis pemahaman Yahudi-Kristen “Allah tidak berubah” berarti bahwa Allah yang berhubungan secara personal dengan manusia dalam sejarah, tetapi setia dalam kasih, juga kalau jawaban manusia berubah-ubah.
7. Allah adalah Hakim. Dengan mengutuk ketidakadilan sosial, para nabi menyatakan bahwa Allah tidak menerima situasi seperti itu. Pandangan mengenai Allah sebagai Hakim yang mengadili itu mengalir dari kodrat Allah yang mengasihi. Allah menghendaki kebaikan semua orang. Allah itu melawan penindasan manusia dan ketidakadilan terhadap umatNya. Allah bukanlah Allah yang dipuaskan dengan ibadat dan ritus oleh manusia yang menolak sesamanya. Allah menghendaki keseluruhan, keutuhan, kepenuhan hidup dari yang diciptakanNya, dan karena itu melawan segala perendahan manusiawi. Cinta otentik kepada Allah harus juga berarti cinta kepada apa yang dimiliki Allah, apa yang dicintai Allah.
8. Kerajaan Allah. Dalam peristiwa Yesus, simbol Kerajaan Allah berarti pemerintahan Allah di dunia, kuasa Allah yang adalah kuasa kasih, yang menyembuhkan, mengutuhkan dan membawa pemenuhan manusiawi. Pemerintah dan kuasa Allah mencakup semua manusia tanpa kecuali. Allah mendahulukan yang sakit, yang pecah, yang menderita, dan terutama yang paling menderita. Kerajaan Allah dengan demikian merupakan pemenuhan manusiawi, kerajaan damai dan harmoni, keadilan dan kegembiraan. Memasuki Kerajaan Allah, orang harus mengambil sikap dan kualitas Allah dan beriman berarti melaksanakan kehendak Allah.
9. Allah penyelamat. Kehidupan manusia mendapat ciri dan keterbatasan, penderitaan dan kematian. Seluruh penggambaran mengenai Allah tidak berarti seandainya Allah bukan Penyelamat. Kenyataan ini dinyatakan oleh Yesus dengan simbol Kerajaan Allah. Allah adalah Penyelamatan apabila Kerajaan Allah datang dalam kepenuhan. Allah adalah penyelamat sekarang ini dengan daya kuasa Roh Allah yang merupakan daya kuasa cinta, penyembuhan dan perawatan. Simbol Allah sebagai Penyelamat menjembatani kenyataan manusiawi yang paradoksal, yaitu di satu pihak secara mutlak dan akrab berhubungan denagn Allah, di lain pihak terasing dari Allah, bahkan sendirian.
10. Allah adalah misteri absolut. Pernyataan mengenai Allah sebgai misteri absolut berarti suatu pengakuan bahwa meskipun kita berusaha sekuat tenaga untuk menggambarkan Allah, kita tetap tidak mengetahui Allah sebagaimana adanya. Kita hanya dapat merumuskan konsep-konsep mengenai Allah berdasarkan pengalaman-pengalaman religius kita. Misteri Allah tidak hanya menyangkut pengetahuan, melainkan secara dasariah menyentuh seluruh kehidupan, misalnya dalam simbol Ayub. Ayub yang tidak bersalah mengalami penderitaan yang berkepanjangan sampai pada tepi kematian. Ayub merupakan model spiritualitas kritis. Dia tidak menerima kejahatan dan tidak dipuaskan dengan konsep mengenai Allah dan tidak menyerah kepada ortodoksi yagn membiarkan ketidakadilan.
Percakapan mengenai Kristologi menyapa setiap budaya dalam perkembangan manusia yang mejadi ruang lingkup konteks aktual Gereja. Hal ini tentu saja mempunyai rentang waktu yang cukup lama dengan peristiwa Yesus. Dalam perkembangan budaya yang semakin modern, semakin jauh dari realitas historis Yesus Kristus; selalu dibutuhkan, digali, dan dikembangkan sebuah re-interpretasi tradisi kristiani. Figur Yesus historis menjadi pusat, sekaligus tanda kehadiran dan wahyu Allah dalam komunitas kristiani. Yesus dilihat sebagai simbol Allah yang menuntut manusia untuk bersikap kritis dalam beriman.
Bagi umat beriman Kristiani, Allah yang dialami adalah Allah yang mewahyukan diri melalui Yesus Kristus. Melalui Yesus Kristus, manusia sampai kepada Allah. Hidup beriman mengikuti Yesus Kristus mempunyai ciri mistis, menyentuh pengalamn personal. Hidup beriman juga mempunyai ciri politis, mengusahakan kesejahteraan hidup bersama yagn lebih manusiawi, lebih adil, dan merdeka. Orang-orang yang berjumpa dengan Yesus dipanggil untuk mengikutinya, untuk mengolah hidup batin dan lingkungan mereka sehingga setiap pribadi mempunyai kepastian jawaban mengenai “Siapa Yesus baginya”.
[1] Roger Haight. An Alternative Vision An Interpretation of Liberation Theology. New York: Paulist Press. 90-95.