Selasa, 13 Mei 2008

Gelar-gelar Yesus: Perjumpaan dengan Allah dalam Peristiwa Yesus

Gelar-gelar Yesus: Perjumpaan dengan Allah dalam Peristiwa Yesus
Dialog dengan tradisi-tradisi Kristiani memberikan kesaksian iman mengenai perjumpaan dengan Allah melalui peristiwa Yesus Kristus. Umat beriman kristiani berjumpa dengan orang-orang yang memberikan kesaksian iman.
[1] Melalui proses mendengarkan, iman kita dilahirkan dan dikembangkan. Di sini, tradisi-tradisi kristiani dimengerti secara luas, yaitu semua saja yang menampilkan kesaksian mengenai Yesus Kristus, seperti ajaran Gereja, pemikiran teologis, spiritualitas, praksis Gereja dan terutama Kitab Suci. Dari tradisi-tradisi Kristiani ini pula, kita sampai pada perumusan ajaran iman mengenai siapa Yesus bagi umat Kristiani, yang direfleksikan dalam konteks pengalaman manusiawi mengenai Allah.
Pengalaman dan pemahaman manusia mengenai Allah terjadi dalam dunia melalui suatu mediasi, entah itu peristiwa, orang, situasi, teks-teks kitab suci ataupun benda-benda. Mediasi tersebut dapat disebut gelar religius. Sebagai kenyataan dalam dunia ini, gelar religius mempunyai sifat terbatas, tetapi menunjuk yang mengatasinya, yaitu Allah yang transenden dan tak terbatas. Yang tak terbatas dialami dalam dan melalui gelar religius yang terbatas. Gelar religius terbatas ini memang menunjuk keseluruhan dari Yang tak terbatas, tetapi sekaligus juga mengkhususkan, memfokuskan, mentematisasikan dan membatasi. Allah mewahyukan diri kepada manusia dalam dunia. Gelar-gelar mengenai Yesus muncul dari hidup manusia dalam dunia ini, bahkan dalam konteks tertentu pula. Pemahaman mengenai Yesus Kristus sekaligus juga pemahaman mengenai eksistensi manusia dalam hubungan dengan Yesus Kristus.

1.1 Nabi
[2]
Yesus dikenal sebagai seorang nabi (Mat. 21,11; Lk. 7, 16; 24,19; Yoh 4,19;9,17). Yesus sendiripun berkata mengenai diriNya, “Seorang nabi di hormati di mana-mana kecuali di tempat asalnya sendiri, di antara keluarganya dan di rumahnya” (Mk 6,4; Lk. 4,24; Yoh 4,44). Pengalaman Yesus pada saat permandian (Mat 3,13-17) dapat dipandang sebagai pengalaman panggilan seorang nabi (Yes 6,1-10)[3]. Yesus telah berkiprah sebagai seorang yang memiliki kuasa (eksousia) yang pasti merupakan ciri kenabian. Di dalam tradisi alkitabiah, kewibawaan seorang nabi diakui dan diterima apabila ia dikuasai oleh Roh Allah. Penampilan Yesus mengingatkan orang akan tokoh Perjanjian Lama maupuan akan Yohanes Pemandi yang juga disebut “nabi” (Mat 11,9; 14,15; Luk 1,76).
Pada waktu kaum keluarga Yesus dan orang-orang lainnya kuatir bahwa Yesus sudah tidak waras atau bahwa ia mungkin telah dirasuki setan, Ia menanggapi dengan memuji dan memuliakan kehadiran Roh Kudus dan kehendak Allah (Mk. 3, 21-35). Karena Yesus dikenal tidak hanya sebagai seorang nabi, tetapi sebagai seorang nabi akhir zaman, sebagai Dia yang memberitakan telos (maksud akhir) dan finis (tujuan akhir) Allah dan sebagai Dia yang mendatangkan dan mewujudkan “tindakan akhir Allah yang paling menentukan untuk menyelamatkan umatNya. Yesus tidak hanya memberitakan Kerajaan Allah dan meminta tanggapan iman, tetapi Ia juga telah mempertaruhkan hidupNya sendiri dengan menempuh bahaya demi kebenaran yang menjadi isi amanatNya.

1.2 Anak Manusia
[4]
Dalam Perjanjian Baru, Kata “Anak Manusia” dipakai sebanyak 82 kali, yaitu 67 daripadanya injil synoptik, 13X dalam Yohanes, dan Kis 7:56, Why 14:14.[5] Kata Anak Manusia dipakai oleh Yesus sendiri dalam arti “saya”. Kadang-kadang dalam teks-teks paparel memang ditulis “saya” ganti “Anak Manusia” (Luk 12,8; Mat 10,32). Banyak ahli berpendapat bahwa sebutan Anak Manusia berasal dari Yesus sendiri. Dalam Mrk 14,62, Anak Manusia terang mempunyai arti mesias, dan barangkali ayat itu dirumuskan dengan pertolongan Dan 7,13. R. Bultmann membedakan tiga sabda mengenai Anak Manusia:
1. Anak Manusia yang akan datang, khususnya sebagai hakin dimasa yang akan datang,
2. Anak Manusia yang bersengsara, teristimewa yang disebut dalam ramalan sengsara,
3. Anak Manusia yang berkarya di dunia, biasanya penuh kuasa.
Secara umum boleh dikatakan bahwa Yesus berbicara mengenai dirinya sendiri dengan mempergunakan sebutan Anak Manusia. Fakta bahwa Gereja Purba tidak mempergunakan Anak Manusia sebagai gelar kristologis merupakan argumen yang kuat untuk mempertahankan bahwa sebutan itu berasal dari Yesus. Kalau Yesus menyebut dirinya dengan sebutan Anak Manusia, apa artinya? Jawaban harus dicari dalam pewartaan Yesus sendiri, yakni pewartaanNya mengenai Kerajaan Allah. Kerajaan Allah menjadi begitu sentral dalam pewartaan Yesus, sehingga hidup dan pribadi Yesus harus dimengerti dalam hubungan dengan Kerajaan Allah. Anak Manusai harus dimengerti dalam hubungan dengan Kerajaan Allah itu. Dapat dikatakan bahwa sabda mengenai Anak Manusia datang atau dari Yesus sendiri atau dari jemaat purba. Anak Manusia adalah gelar eskatologis, dan sangat tidak jelas baik artinya ataupun asal-usulnya. Teks tentang Anak Manusia terdapat dalam: Mt 9,6; 12,8; 17,8;25,18, Mrk 2,10, 8,31; 9,9, Luk 5,24; 6,5; 9,22, Yoh 1,51; 3, 13; 5,27.

1.3 Anak Allah
[6]
Dalam Perjanjian Baru, ada dua cara pemakaian sebuatan Anak Allah: atau sebagai semacam gelar atau sebagai ungkapan relasi khusus Yesus dengan Allah. Anak Allah mempunyai arti gelar, langsung kelihatan dari perbandingan teks-teks ini: Yoh 1,49; Luk 4,41; Kis 9, 20-22. Melalui teks-teks ini kelihatan bahwa “mesias” (=kristhos) disebut Anak Allah. Gelar Anak Allah umum dipakai di dalam lingkungan Yunani-Romawi dan diterapkan pada diri kaisar atau dewa-dewa kafir. Dalam tradisi Israel gelar Anak Allah diterapkan untuk raja (2Sam 7,14) dan untuk Israel (Kel 4,22).
Dalam Perjanjian Baru, sebutan Anak Allah mempunyai dua arti, yaitu sebagai gelar dan relasi Yesus dengan Allah
[7]. Sebagai gelar kebesaran, sebutan Anak Allah menunjukkan keluhuran Yesus (bdk. Ki 13:32-33). Keluhuran itu terutama menunjuk pada pengalaman paska. Lewat pengalaman paska, pandangan para murid akan Yesus makin transenden, makin dimuliakan dan diilahikan. Gelar Anak Allah juga merupakan pengakuan iman khas kristiani, namun bukan dalam arti julukan kehormatan (Yoh 20,31). Dengan sebutan Anak Allah, mau ditunjukkan siapa Yesus sebenarnya. Dalam konteks ini sebutan Anak Allah, pertama-tama mau menunjuk hubungan Yesus dengan Allah (Mt 11, 27; Luk 10, 22). Relasi khusus Yesus dengan Allah ini nampak jelas dengan menyebut Allah sebagai Bapa (Yoh 5,17).
1.4 Kristus
[8]
Kata “Kristus” (Yunani “Christos”, Ibrani “Mesias”) mempunyai arti ‘yang terurapi’.
[9] Kata ini berasal dari Perjanjian Lama dan Yudaisme. Gelar itu dipakai bagi raja-raja yang duduk di atas tahta Daud dan mempunyai warna politis. Meskipun seroang raja Israel diurapi oleh manusia, namun pengurapan itu dilihat sebagai tindakan Allah (1Raj 9,3). Dengan pengurapan itu, diungkapkan pemberian Roh Tuhan sebagai mesias (Yes 61). Pada perkembangan sejarah Kerajaan Israel, dimana tidak ada raja yang memenuhi harapan, sebutan Kristus/Mesias diarahkan kepada raja yang ideal. Disinilah muncul pemahaman mesias eskatologi, yakni raja ideal yang diharapkan pada akhir zaman. Janji akan kedatangan mesias itu beragam. Deuteroyesaya melukiskan mesias itu sebagai “hamba yang bersengsara” (Yes 53), dalam Dan 7, 11 mesias adalah Anak Manusia.
Dalam Perjanjian Baru gelar Kristus dikenakan pada Yesus. Ini mau menunjukkan fungsi, misi, tugas Yesus yang merupakan jawaban terhadap situasi fundamental. Yesus tidak pernah menyebut diri-Nya Mesias. Dalam Perjanjian Baru ada tiga teks yang menampilkan aspek mesianis Yesus:
1. Tulisan pada salib (Mrk 15, 26). Orang Romawi memandang Yesus sebagai mesias dalam arti politis yang memberontak.
2. Yesus dihadapan mahkamah agama (Mrk 14, 53-65)
3. Pengakuan Petrus (Mrk 8, 27-33).
Teks ini yang paling jelas bicara mengenai mesianitas Yesus. Mesias yang dimaksud adalah “Anak Manusia yang menderita sengsara dan ditolak oleh tua-tua dan para imam lalu dibunuh dan bangkit sesudah tiga hari” (Mrk 8,31). Gelar Kristus bagi Yesus secara khusus berkaitan dengan peristiwa salib dan wafat-Nya. Saat penyaliban, istilah Kristus hanya sebagai ejekan (Mrk 15,32), namun setelah peristiwa kebangkitan, para murid memaknainya sebagai nama kehormatan dan kemuliaan.

1.5 Tuhan
[10]
Kata “Tuhan” merupakan terjemahan dari bahasa Yunani “Kyrios”. Kata ini dipakai untuk menyebut pemilik, tuan, majikan, penguasa yang memerintah raja-raja. Dalam arti kyiros tidak mempunyai arti religius. Tetapi dalam dunia Yunani, kyrios juga memiliki makna religius, yakni untuk menunjuk para dewa-dewi yang memiliki kuasa dan hak atas hidup manusia. [11]
Dalam terjemahan Perjanjan Lama, kata Tuhan biasa digunakan untuk menyebut Allah, sebab Israel juga mengenal penggunaan kata ‘tuan’, ‘tuhan’ untuk menunjuk para pemilik tanah, raja atau majikan. Dalam bahasa Ibrani istilah itu dipakai kata adonai, adon. Adonai mau mengungkapkan diri Allah yang memiliki bangsa Israel dan juga menguasai langit dan bumi, sebab Dia adalah Sang Pencipta yang kemuliaan-Nya memenuhi ciptaan-Nya (Mzm 114,7 Yes 1,24; 3,1).
Dalam Perjanjian Baru, kata Tuhan dikenakan untuk gelar Yesus. Gelar Tuhan adalah gelar kebangkitan. Tulisan Paulus cukup konsekuen dalam menggunakan gelar ini. Gelar Tuhan pertama-tama digunakan untuk Dia yang dibangkitkan atau Dia yang mulia dan ditinggikan karena kebangkitan. Flp 2, 9-11, “Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengurniakan kepada-Nya nama diatas segala nama, supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut…”
Dalam Gereja Perdana, sebutan Tuhan dikenakan pada Yesus. Jemaat kristen sadar bahwa Yesus yang menderita dan wafat di salib itu kini bangkit dan ditinggikan oleh Allah menjadi Tuhan. Sebaga Tuhan, kini Yesus mempunyai kuasa bumi atas langit (Mt 28,18). Dalam tardisi PL, kuasa itu hanya dimiliki Allah. Sebagaimana Allah adalah penyelamat, kini Yesus di dalam Allah yang bertindak dan menyelamatkan (Yoel 2,32, Rm 10,9). Maka dengan sebutan Tuhan, Yesus mau disejajarkan dengan Allah sendiri yang berkuasa dan sebagai penyelamat. Yesus sebagai Tuhan bagi jemaat kristiani menjadi pokok keselamatan (Ibr 5,9) dan pusat Gereja.


[1] JB. Banawiratma. “Kristologi dalam Pluralisme Religius” dalam Orientasi Baru… 75-76.
[2] A. Roy Eckardt. Menggali Ulang Yesus Sejarah. Kristologi Masa Kini… 27-28
[3] Tom Jacobs. Emanuel. Perubahan dalam Perumusan Iman Akan Yesus Kristus… 51
[4] Tom Jacobs. Emanuel. Perubahan dalam Perumusan Iman Akan Yesus Kristus… 96-98.
[5] Tom Jacobs. Siapa Yesus Kristus Menurut Perjanjian Baru… 147-150
[6] A. Roy Eckardt. Menggali Ulang Yesus Sejarah. Kristologi Masa Kini… 32-35
[7] Tom Jacobs. Siapa Yesus Kristus Menurut Perjanjian Baru… 96, 145-147.
[8] A. Roy Eckardt. Menggali Ulang Yesus Sejarah. Kristologi Masa Kini… 30-32
[9] Tom Jacobs. Emanuel. Perubahan dalam Perumusan Iman Akan Yesus Kristus… 76-77.
[10] A. Roy Eckardt. Menggali Ulang Yesus Sejarah. Kristologi Masa Kini…29-30
[11] Tom Jacobs. Emanuel. Perubahan dalam Perumusan Iman Akan Yesus Kristus… 104-105

Tidak ada komentar: