Jumat, 31 Oktober 2008

Kamera

Kuangkat kameraku dan kujepret sebuah pemandangan. Aku sangat yakin
bahwa yang aku jepret hari kemarin adalah pot bunga yang indah itu.
Beberapa kuntum anggrek sedang memancarkan kelembutannya dan aku
ingin mengabadikan memori manis dan indah ini. Namun hari ini ketika
mengambil hasilnya dari toko cetak photo itu ternyata apa yang
kuperoleh amatlah berbeda. Pot bunga itu nampak amat kabur.
Keindahan anggrek cuma nampak samar-samar. Sementara obyek lain yang
berada jauh di belakang pot itu justru amat jelas kelihatan tanpa
catat dan cela.
Aku kecewa....!!! Mengapa setiap kali aku membidik sebuah obyek
selalu saja nampak kabur??? Mengapa hasil jepretan tangan orang lain
selalu nampak indah mempesona?? Aku bertanya diri. Ketika aku sekali
lagi memperhatikan kameraku, aku menjadi sadar. Ternyata aku yang
amatir ini belum mahir mengontrol fokus kameraku. Bukan gerakan
tangan saat menjepret, bukan posisi berdiri, jongkok atau duduk yang
mempengaruhi hasil sebuah bidikan, walau itu kadang juga penting.
Tapi fokus kameralah yang amat menentukan. Aku masih harus belajar
lagi....
Sebuah cakrawala baru kini terkuak lebar di depanku, saat aku
memperhatikan photo-photo itu. Ternyata hidupku juga bagai menjepret
sebuah pemandangan yang menuntut ketrampilan mengatur fokus. ¡§Aku
harus belajar lagi dan lagi untuk menentukan fokus kamera hidupku
setiap hari.¡¨ Aku berbisik pada diriku.

Terima Kasih Papa

Daun-daun mulai kering. Beberapa rumput liar tumbuh menembus daun-daun yang mulai busuk. Entah telah berapa lama, dia tak pernah tersentuh oleh tangan. Satu Minggu, satu bulan, satu tahun... entah, aku sudah lupa. Dengan kekuatannya yang mulai pudar, pohon tua itu memberi keteduhan bagi orang yang ingin berlama-lama di sini.
Kuhirup nafas dalam-dalam seakan-akan ingin kuganti semua kepenatan yang ada dalam diriku ini. Telah sekian lama ini, aku hidup dalam kepura-puraan. Berpura-pura menjadi pribadi yang tegar, kuat, sabar... padahal... aku merasa semakin hari semakin merasa putus asa. Aku seperti berjalan dalam kegelapan tanpa setitik lentera penunjuk arah. Aku berjalan tertatih-tatih dengan beban semakin berat kurasakan.
Kucabut rumput-rumput kecil yang tumbuh di atasmu. Kusingkirkan daun-daun yang mengotorimu. Tak kupedulikan lagi tanganku yang mulai kotor. Kuseka keringat di wajahku. Ingin kuberteriak membangunkanmu, tapi....
Kutengadahkan wajahku berusaha mengusir butiran air mata yang mulai menetes di pipiku.
“Papa... berat bagiku mengatakan hal ini. Sebenarnya aku tak rela, tapi...sekarang, aku harus mengucapkannya. Selamat jalan Papa.
Kedengarannya, sangat aneh mengucapkan hal ini karena kutahu papa telah lama pergi. Lebih dari 2 tahun, tepatnya 2 tahun 2 bulan pada hari ini. Namun... aku belum pernah mempunyai kesempatan mengucapkan selamat jalan kepada papa. Waktu itu, aku sedang menikmati kebersamaan bersama papa, memahami kerja papa yang baru, namun papa pergi dan tak kembali lagi.... Semua terjadi tiba-tiba.
Aku betul-betul marah kepada papa karena meninggalkanku. Aku tak rela papa meninggalkanku sendirian. Aku benci menghadiri pemakaman papa. Papa tidak pernah tahu betapa hebat aku menangis setelah itu, sendirian. Aku tidak dapat membiarkan orang lain melihatku menangis karena aku harus kuat seperti papa.
Papa janji mau mengajari Evelyn main gitar, tapi... papa baru sempat mengajarinya beberapa kunci. Janji mengajak Evelyn naik gunung Gedhe? Bahkan papa belum sempat mengajariku mengendarai mobil, padahal papa mengatakan harus segera bisa supaya kalau pergi bareng-bareng, papa bisa istirahat dan gantian tidur di mobil.
Ingin kuceritakan Tius yang berulang kali kulihat mencari perhatianku. Entah berapa kali dia menawarkan untuk main ke rumahnya. Entah berapa kali dia mengajak aku dan Evelyn untuk rekreasi ke puncak di akhir pekan. Dan selama ini aku bisa menolak permintaannya dengan halus. Teman-teman guru malah menggoda aku. Mereka mengatakan bahwa Tius itu naksir dan mencintaiku. Pasti papa akan tertawa dan menggoda aku juga.
Papa..... aku tak yakin, apakah papa telah betul-betul mengenal, Evelyin, putrimu sendiri. Ada saat-saat di mana aku merasa membenci papa ketika aku tidak tau harus bersikap bagaimana terhadap anak kita itu. Dia mulai beranjak dewasa dan kadangkala aku aku mengalami kebingungan bersikak padanya. Rasanya ingin marah, tetapi....
Ada saat aku sungguh merindukan papa untuk duduk di sampingku dan mendengarkan apa yang ingin aku ceritakan. Murid-muridku, teman-teman guru... dan papa harus tau, Evelyn anak kita telah beranjak besar. Kau masih ingat ulangtahunnya kan? Bulan depan, tanggal 13 dia genap 17 tahun. Apakah kau setuju jika dia kita belikan motor baru sebagai hadiah ulang tahun? Atau boleh tidak dia membuat SIM untuk mobil karena dia kadangkala merengek minta dibuatkan SIM. Aku memang pernah menjanjikan kalau sudah berumur 17 tahun, tapi aku juga kuatir karena dia itu cewek, tetapi agak tomboy dan seringkali suka menantang bahaya. Kalau dia kuberi kesempatan mengendari mobil, misalnya ketika pulang dari puncak.... aduh... jalannya seperti setan. Cepat sekali dan suka zig-zag. Persis seperti kamu kalau naik mobil.
Aku juga ingin cerita soal Filo, temen cowoknya yang beberapa waktu ini menjadi obrolan aku dan Evelyn. Atau mengenai Anna, teman dekatnya yang katanya juga mencintai Filo. Aku ingin ngobrol berdua di kursi ayunan depan rumah, makan malam di luar, entah bersama dengan Evelyn atau hanya kita berdua. Aku juga ingin kadangkala papa menemaniku jalan-jalan di mall.
Ada saat ketika aku hanya bisa menangis bersama Evelyn di kamar. Menangis. Tak sanggup melihat film Jersey Girl. Atau ketahuan Evelyn menangis sendirian sambil memandang cermin di kamar. Tidak jarang, aku hanya mampu tersipu malu atau berlagak marah ketika ketahuan Evelyn melamun di ayunan depan rumah yang menjadi tempat kita bersama menghabiskan kopi di sore hari sambil menyanyi bersama.
Tapi kutahu, sekaranglah saat untuk mengucapkan selamat jalan kepada papa dan membiarkan papa pergi. Sebenarnya Aku belum rela dan takut untuk melakukan hal itu, tapi aku harus melakukannya. Aku benci harus meninggalkan papa, tetapi aku harus. Terima kasih karena telah menjadi suamiku. Terima kasih telah mengisi kehidupanku dengan warna istimewamu. Kadangkala kusadari bahwa papa tidak sempurna, tapi papa memberikan Aku suatu permulaan yang baik dan aku akan terus mengingatnya. Aku akan melanjutkannya. Aku akan mengembangkannya.
Bukan berarti aku melupakan papa. Tidak. Tetapi belajar menerima dan terbuka bahwa papa telah tidak ada disampingku lagi. Aku harus belajar menjadi papa dan mama sekaligus untuk Evelyn. Aku harus belajar bahwa kalau terlalu mengenang papa, aku tidak akan bisa berkembang. Aku takut, ini juga akan mempengaruhi perkembangan Evelyn, anak kita jika kau terlalu sedih dan selalu teringat kamu.
Papa.... “
“Mama! Mama!”
Kuarahkan wajahku ke arah orang yang memanggil namaku. Kulihat Evelyn didepanku. Masih ada bekas aliran air mata di wajahnya. Sama dengan diriku.
“Ma?!”
Aku tersenyum sambil menyeka bekas air mata di pipiku.
“Yuk kita pulang. Nanti nenek kebingungan menunggu kita kelamaan. Perut juga sudah lapar. Besok kita kembali ke Bandung. “
Kugandeng tangannya dan kupandang pusara makam Filo, suamiku.
“Selamat tinggal, papa. Aku pulang dulu ke Bandung. Besok aku berkunjung kembali.”
Aku masih sangat mencintainya. Smoga aku dapat menempatkan cinta itu dengan benar. Aku pernah berkata kepadanya bahwa kalau bisa mengenal cara untuk mencintai, lima puluh persen adalah karena dia... Apalagi hadiah yang lebih besar yang bisa diberikan seseorang kepada orang lain selain belajar mencintai? Aku harus berterimakasih kepada seseorang yang telah meluangkan waktu agar Aku bisa memberikan dan meneruskan cinta itu kepada buah hati dari cinta kami berdua.
Memang papa telah pergi. Namun, aku tidak sendirian. Ada Evelyn yang menjadi penggantinya. Ketika aku sungguh rindu dan putus asa, Evelyn menjadi semangat untuk tetap hidup, untuk tetap tersenyum dan melihat bahwa semuanya baik-baik saja.
“Terima kasih Papa. Tuhan, berilah kedamaian untuk suamiku tercinta. Berilah aku kekuatan untuk menjalani hidup yang masih kaupercayakan kepadaku. Berilah kesabaran dan cinta yang semakin besar dalam mendampingi Evelyn, anak kami dan tuntunlah dia agar menjadi anak yang baik.”

Tentang aku

Pernahkah teman-teman merasakan kesepian? Pernahkah teman-teman merasa tidak mempunyai teman di dunia ini, hanya merasakan kesendirian. Sunyi, sepi, sendiri, tiada teman, hidup serasa berat, nampak bahwa teman-teman sendiri yang mengalami sebuah masalah yang lebih berat dibanding dengan yang lain. Dunia serasa mau runtuh saja. Banyak pertanyaan yang kemudian muncul. Untuk apa hidup ini? Apa yang aku cari? Apa yang akan aku lakukan setelah aku lulus nanti? Apa yang aku cari dalam kuliahku? Apakah itu berguna dalam persiapanku untuk masa depanku? Toh, aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku di masa yang akan datang…jangankan masa yang akan datang, apa yang akan terjadi besok pun aku tidak tahu…itu juga suatu misteri.
Banyak yang mengatakan bahwa orang hidup di dunia ini karena ingin bahagia. Namun, di pertengahan jalan ternyata menghadapi sebuah tantangan hidup yang membuat tidak mampu lagi meyakini bahwa apa yang sedang dicari adalah kebahagiaan. Yang ada hanya kosong, tak tau mau berbuat apa, tak tau siapa yang akan aku ajak bicara, hanya….aku hanya saja sedang merasa sendiri…pernah aku mencari sesuatu yang mampu membuatku lupa dengan segala permasalahanku…dengan hingar-bingar…dengan mencari sesuatu yang sekiranya membuatku mampu melupakan apa yang sedang terjadi padaku… saat itu,aku merasa senang…bukan bahagia,aku merasa senang..aku merasa senang..namun,, ketika itu semua sudah tidak ada di depan mataku, aku hanya merasakan kosong..kosong dan kosong. Hampa…tak ada artinya,semu saja semua itu. Aku merasakan kepedihan yang bahkan lebih mendalam. Lebih perih…
Yah…memang tidak selamanya aku mengalami keterpurukan. Ada kalanya aku juga merasakan kebahagiaan, aku merasakan bahwa dunia ini begitu indah..begitu berwarna. Saat kurasakan kebahagiaan itu, aku merasa ingin hidup seribu tahun lagi untuk tetap merasakan kebahagiaan itu. Aku bisa tertawa terbahak-bahak seakan-akan aku tidak pernah merasakan kepedihan. Aku merasakan semangat yang luar biasa yang mampu membuatku melakukan sesuatu yang kuduga tidak akan pernah bisa kulakukan. Aku berbahagia, berbunga-bunga seakan-akan hanya kebahagiaan yang ada di depan mata. Itu terjadi seakan-akan aku lupa bahwa hidup itu tidak akan selalu indah…maybe it’s too good to be true…lupa bahwa suatu saat akan berada di bawah. Memang benar-benar menyenangkan saat ini.
Setelah aku merasakan keduanya, aku mulai mengetahui bahwa aku adalah orang yang ekstrim..saat aku merasakan kebahagiaan…sungguh, aku merasakan kebahagiaan yang tiada taranya…tidak ada orang yang mengalahkan kebahagiaanku saat aku bahagia…tapi di saat yang lain, ketika aku sedih…bagaikan tidak akan ada lagi hari esok…sebuah keterpurukan yang mendalam…serasa aku jatuh ke jurang yang amat dalam di mana tidak ada kemungkinan bagiku untuk bangkit…untuk berdiri lagi dan berlari.
Ada satu hal yang menarik yang aku perhatikan ketika aku mengalami entah kesedihan, entah kegembiaraan, yaitu di peristiwa yang penting dalam hidupku itu ada sahabat di sampingku. Sahabatku selalu menyertaiku apa pun yang terjadi. A friend in need is a friend indeed. Kadang aku sendiri merasa tidak enak dengan sahabatku. Ketika aku sedang mengalami masalah, aku ingin sahabatku itu sungguh-sungguh mengerti keadaanku. Dan memang demikian. Sahabatku itu selalu mengerti aku. Tapi ketika sahabatku itu mengalami masalah, kadang aku melupakan bahwa sahabatku selalu ada di sampingku..ada kalanya aku tidak mampu untuk memahami yang terjadi pada sahabatku. Mungkin bisa juga disebut aku adalah orang yang egois. Saat aku ingat itu, aku sungguh malu pada diriku sendiri. Aku sungguh-sungguh malu. Apa yang telah aku lakukan?
Maafkan aku sahabatku…maafkan aku karena aku masih terbuai dengan duniaku sendiri..maafkan aku karena aku kadang tidak mengerti dirimu…aku..aku…tak tau lagi apa yang mau aku katakan lagi padamu.. terima kasih… sahabatku…kau memang yang terbaik…you’re the best..
Marilah kita berdiri…kita saling bergandengan tangan satu sama lain…dan pandang mata teman di depan kita dan ucapkan dalam hati… kau sahabatku…aku akan berjalan di sampingmu selalu…ingat itu…
Jikalau ada sebuah kesalahan yang pernah kita lakukan pada teman kita…ucapkan dalam hati… maafkanlah aku sahabatku..aku belum bisa menjadi sahabat yang baik….