Jumat, 31 Oktober 2008

Terima Kasih Papa

Daun-daun mulai kering. Beberapa rumput liar tumbuh menembus daun-daun yang mulai busuk. Entah telah berapa lama, dia tak pernah tersentuh oleh tangan. Satu Minggu, satu bulan, satu tahun... entah, aku sudah lupa. Dengan kekuatannya yang mulai pudar, pohon tua itu memberi keteduhan bagi orang yang ingin berlama-lama di sini.
Kuhirup nafas dalam-dalam seakan-akan ingin kuganti semua kepenatan yang ada dalam diriku ini. Telah sekian lama ini, aku hidup dalam kepura-puraan. Berpura-pura menjadi pribadi yang tegar, kuat, sabar... padahal... aku merasa semakin hari semakin merasa putus asa. Aku seperti berjalan dalam kegelapan tanpa setitik lentera penunjuk arah. Aku berjalan tertatih-tatih dengan beban semakin berat kurasakan.
Kucabut rumput-rumput kecil yang tumbuh di atasmu. Kusingkirkan daun-daun yang mengotorimu. Tak kupedulikan lagi tanganku yang mulai kotor. Kuseka keringat di wajahku. Ingin kuberteriak membangunkanmu, tapi....
Kutengadahkan wajahku berusaha mengusir butiran air mata yang mulai menetes di pipiku.
“Papa... berat bagiku mengatakan hal ini. Sebenarnya aku tak rela, tapi...sekarang, aku harus mengucapkannya. Selamat jalan Papa.
Kedengarannya, sangat aneh mengucapkan hal ini karena kutahu papa telah lama pergi. Lebih dari 2 tahun, tepatnya 2 tahun 2 bulan pada hari ini. Namun... aku belum pernah mempunyai kesempatan mengucapkan selamat jalan kepada papa. Waktu itu, aku sedang menikmati kebersamaan bersama papa, memahami kerja papa yang baru, namun papa pergi dan tak kembali lagi.... Semua terjadi tiba-tiba.
Aku betul-betul marah kepada papa karena meninggalkanku. Aku tak rela papa meninggalkanku sendirian. Aku benci menghadiri pemakaman papa. Papa tidak pernah tahu betapa hebat aku menangis setelah itu, sendirian. Aku tidak dapat membiarkan orang lain melihatku menangis karena aku harus kuat seperti papa.
Papa janji mau mengajari Evelyn main gitar, tapi... papa baru sempat mengajarinya beberapa kunci. Janji mengajak Evelyn naik gunung Gedhe? Bahkan papa belum sempat mengajariku mengendarai mobil, padahal papa mengatakan harus segera bisa supaya kalau pergi bareng-bareng, papa bisa istirahat dan gantian tidur di mobil.
Ingin kuceritakan Tius yang berulang kali kulihat mencari perhatianku. Entah berapa kali dia menawarkan untuk main ke rumahnya. Entah berapa kali dia mengajak aku dan Evelyn untuk rekreasi ke puncak di akhir pekan. Dan selama ini aku bisa menolak permintaannya dengan halus. Teman-teman guru malah menggoda aku. Mereka mengatakan bahwa Tius itu naksir dan mencintaiku. Pasti papa akan tertawa dan menggoda aku juga.
Papa..... aku tak yakin, apakah papa telah betul-betul mengenal, Evelyin, putrimu sendiri. Ada saat-saat di mana aku merasa membenci papa ketika aku tidak tau harus bersikap bagaimana terhadap anak kita itu. Dia mulai beranjak dewasa dan kadangkala aku aku mengalami kebingungan bersikak padanya. Rasanya ingin marah, tetapi....
Ada saat aku sungguh merindukan papa untuk duduk di sampingku dan mendengarkan apa yang ingin aku ceritakan. Murid-muridku, teman-teman guru... dan papa harus tau, Evelyn anak kita telah beranjak besar. Kau masih ingat ulangtahunnya kan? Bulan depan, tanggal 13 dia genap 17 tahun. Apakah kau setuju jika dia kita belikan motor baru sebagai hadiah ulang tahun? Atau boleh tidak dia membuat SIM untuk mobil karena dia kadangkala merengek minta dibuatkan SIM. Aku memang pernah menjanjikan kalau sudah berumur 17 tahun, tapi aku juga kuatir karena dia itu cewek, tetapi agak tomboy dan seringkali suka menantang bahaya. Kalau dia kuberi kesempatan mengendari mobil, misalnya ketika pulang dari puncak.... aduh... jalannya seperti setan. Cepat sekali dan suka zig-zag. Persis seperti kamu kalau naik mobil.
Aku juga ingin cerita soal Filo, temen cowoknya yang beberapa waktu ini menjadi obrolan aku dan Evelyn. Atau mengenai Anna, teman dekatnya yang katanya juga mencintai Filo. Aku ingin ngobrol berdua di kursi ayunan depan rumah, makan malam di luar, entah bersama dengan Evelyn atau hanya kita berdua. Aku juga ingin kadangkala papa menemaniku jalan-jalan di mall.
Ada saat ketika aku hanya bisa menangis bersama Evelyn di kamar. Menangis. Tak sanggup melihat film Jersey Girl. Atau ketahuan Evelyn menangis sendirian sambil memandang cermin di kamar. Tidak jarang, aku hanya mampu tersipu malu atau berlagak marah ketika ketahuan Evelyn melamun di ayunan depan rumah yang menjadi tempat kita bersama menghabiskan kopi di sore hari sambil menyanyi bersama.
Tapi kutahu, sekaranglah saat untuk mengucapkan selamat jalan kepada papa dan membiarkan papa pergi. Sebenarnya Aku belum rela dan takut untuk melakukan hal itu, tapi aku harus melakukannya. Aku benci harus meninggalkan papa, tetapi aku harus. Terima kasih karena telah menjadi suamiku. Terima kasih telah mengisi kehidupanku dengan warna istimewamu. Kadangkala kusadari bahwa papa tidak sempurna, tapi papa memberikan Aku suatu permulaan yang baik dan aku akan terus mengingatnya. Aku akan melanjutkannya. Aku akan mengembangkannya.
Bukan berarti aku melupakan papa. Tidak. Tetapi belajar menerima dan terbuka bahwa papa telah tidak ada disampingku lagi. Aku harus belajar menjadi papa dan mama sekaligus untuk Evelyn. Aku harus belajar bahwa kalau terlalu mengenang papa, aku tidak akan bisa berkembang. Aku takut, ini juga akan mempengaruhi perkembangan Evelyn, anak kita jika kau terlalu sedih dan selalu teringat kamu.
Papa.... “
“Mama! Mama!”
Kuarahkan wajahku ke arah orang yang memanggil namaku. Kulihat Evelyn didepanku. Masih ada bekas aliran air mata di wajahnya. Sama dengan diriku.
“Ma?!”
Aku tersenyum sambil menyeka bekas air mata di pipiku.
“Yuk kita pulang. Nanti nenek kebingungan menunggu kita kelamaan. Perut juga sudah lapar. Besok kita kembali ke Bandung. “
Kugandeng tangannya dan kupandang pusara makam Filo, suamiku.
“Selamat tinggal, papa. Aku pulang dulu ke Bandung. Besok aku berkunjung kembali.”
Aku masih sangat mencintainya. Smoga aku dapat menempatkan cinta itu dengan benar. Aku pernah berkata kepadanya bahwa kalau bisa mengenal cara untuk mencintai, lima puluh persen adalah karena dia... Apalagi hadiah yang lebih besar yang bisa diberikan seseorang kepada orang lain selain belajar mencintai? Aku harus berterimakasih kepada seseorang yang telah meluangkan waktu agar Aku bisa memberikan dan meneruskan cinta itu kepada buah hati dari cinta kami berdua.
Memang papa telah pergi. Namun, aku tidak sendirian. Ada Evelyn yang menjadi penggantinya. Ketika aku sungguh rindu dan putus asa, Evelyn menjadi semangat untuk tetap hidup, untuk tetap tersenyum dan melihat bahwa semuanya baik-baik saja.
“Terima kasih Papa. Tuhan, berilah kedamaian untuk suamiku tercinta. Berilah aku kekuatan untuk menjalani hidup yang masih kaupercayakan kepadaku. Berilah kesabaran dan cinta yang semakin besar dalam mendampingi Evelyn, anak kami dan tuntunlah dia agar menjadi anak yang baik.”

1 komentar:

Anonim mengatakan...

hey, ko2 tius yg jelek....
ini cerita diambil dari mana k, tersentuh skali.....