PERNIKAHAN KATOLIK
Sakramen Perkawinan adalah persekutuan hidup dan cinta kasih suami istri yang diteguhkan oleh perjanjian nikah atau persetujuan pribadi yang tak dapat ditarik kembali, untuk membentuk keluarga Kristiani.
PENDAHULUAN
Menjadi suami istri berarti suatu perubahan total dari status hidup seseorang. Ia meninggalkan statusnya sebagai anak atau remaja dan mulai hidup sebagai suami/istri bagi pasangannya. "Seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging." Kej 2:24.
Kehidupan suami-istri bukan hanya hidup dua orang secara bersama, melainkan hidup menjadi satu kesatuan (satu daging). Nabi Hosea menggambarkan kesatuan suami-istri itu sebagai lambang kasih Allah kepada bangsa Israel (bdk. Hos 3:1), yang berlanjut kepada Israel baru, yaitu umat Kristiani.
BEBERAPA HAL PENTING
01. Arti Perkawinan: Perkawinan adalah sebuah perjanjian antara seorang pria dan seorang wanita untuk membentuk kebersamaan seluruh hidup.
02. Tujuan Perkawinan : Tujuan perkawinan adalah kesejahteraan suami-istri, kelahiran serta pendidikan anak.
03. Kristus mengangkat perkawinan menjadi sakramen sehingga perkawinan antara orang-orang yang telah dibaptis secara otomatis merupakan sakramen.
04. Sifat Hakiki Perkawinan : Perkawinan Katolik selalu bersifat monogam dan tetap-tak terceraikan. Monogam berarti perkawinan hanya sah jika dilaksanakan hanya antara seorang pria dan seorang wanita. Tidak dibenarkan adanya poligami (beristri lebih dari satu) atau pun poliandri (bersuami lebih dari satu). Tak terceraikan artinya perkawinan yang telah dilangsungkan secara sah menurut hukum, mempunyai akibat tetap dan tidak bisa diceraikan atau diputuskan oleh kuasa mana pun kecuali oleh kematian. Perceraian sipil tidak pernah diakui Gereja!
05. Halangan-Halangan Perkawinan: Yang dimaksud dengan halangan adalah hal-hal yang membuat perkawinan menjadi tidak sah atau menggagalkan sebuah perkawinan.
Beberapa istilah penting:
* Dispensasi yaitu kemurahan yang diberikan uskup demi kesejahteraan rohani umat dalam suatu kasus.
* Izin yaitu persetujuan yang diberikan uskup agar seseorang dapat berbuat halal/layak sesuai hukum.
Halangan yang berasal dari perkawinan itu sendiri
a. Halangan Nikah Umur
Hukum Gereja : Pria 16 tahun Wanita 14 tahun
Hukum Negara : Pria 18 tahun Wanita 16 tahun
Menurut UU Perkawinan No. 1/1974, mereka yang belum mencapai usia 21 tahun harus mendapat ijin dari kedua orang tua.
b. Halangan Nikah Impotensi
Menjadi halangan adalah impotensi yang ada sejak sebelum nikah dan bersifat tetap, baik mutlak maupun relatif.
Kemandulan tidak menjadi halangan atau pun menggagalkan nikah.
c. Ikatan Perkawinan
Salah satu atau kedua pihak masih terikat oleh suatu perkawinan lain yang sah.
Halangan Nikah berdasarkan hal agama
a. Agama yang berbeda
- Beda agama: Orang baptis Katolik dengan orang yang tidak dibaptis. Bisa disahkan jika mendapat dispensasi uskup dengan syarat.
- Beda gereja: Orang baptis Katolik dengan orang baptis Kristen dari denominasi tertentu (masuk PGI). Pentekosta, Adven, Bethel, dan denominasi lain yang tidak termasuk dalam PGI dianggap sebagai beda agama. Dibutuhkan izin dari uskup dengan izin
Orang yang mengaku diri Katolik tetapi belum dibaptis (masih simpatisan atau katekumen) dianggap sebagai orang yang berbeda agama.
b. Tahbisan Suci
Tahbisan suci diakonat, imamat, dan episkopat menggagalkan perkawinan.
Bisa dimintakan dispensasi dari Tahta Suci berupa Laikalisasi (proses menjadikan seorang tertahbis menjadi awam kembali) dan dispensasi dari selibat.
c. Kaul Keprawanan
Mereka yang terikat kaul kemurnian yang bersifat publik dan kekal dalam suatu tarekat religius tidak bisa melangsungkan perkawinan secara sah. Bisa dimintakan dispensasi.
Halangan yang Muncul dari Dosa Berat
a. Penculikan Wanita
Halangan nikah antara pria dengan wanita yang diculik atau sekurang-kurangnya ditahan dengan maksud dinikahi. Halangan ini lebih karena hilangnya kebebasan wanita.
b. Pembunuhan Pasangan
Halangan nikah bagi pria/wanita yang membunuh pasangannya agar dapat menikah lagi.
c. Kelayakan Publik
Halangan nikah yang timbul dari perkawinan tidak sah setelah terjadi hidup bersama atau konkubinat (kumpul kebo) yang diketahui umum. Menggagalkan perkawinan dalam garis lurus tingkat pertama.
Misalkan: pria A kumpul kebo dengan wanita B. A berhalangan nikah dengan ibu dan atau anak dari B. Sementara B berhalangan nikah dengan ayah dan atau anak dari A.
Halangan Nikah Berdasarkan Hubungan Persaudaraan
a. Hubungan Darah
Yang dikenai halangan adalah mereka yang berhubungan darah
- dalam garis lurus ke atas maupun ke bawah dalam segala tingkatan baik yang sah maupun tidak sah.
- dalam garis menyamping sampai tingkat keempat inklusif.
Hub. Darah garis lurus dan menyamping tingkat pertama merupakan halangan kodrati sehingga tidak dapat didispensasi, sementara untuk tingkat III dan IV merupakan halangan gerejani sehingga masih bisa didispensasi.
b. Hubungan Ipar/Semenda
Yang dikenai halangan adalah hubungan kesemendaan dalam garis lurus dalam tingkat manapun. Hubungan kesemendaan dihitung berdasarkan garis dan tingkat dari orang yang berhubungan darah dengan suami atau istri.
Hubungan kesemendaan dalam garis menyamping / ipar tidak menjadi halangan.
c. Halangan Adopsi
Halangan nikah bagi mereka yang mempunyai hubungan dari adopsi dalam garis lurus atau menyamping tingkat kedua.
Beberapa hal yg bisa menghalangi atau menimbulkan cacat perkawinan:
- Kemampuan kedua pihak untuk memberikan kesepakatan. Cacat akal budi, cacat membentuk pandangan, maupun psikis menggagalkan perkawinan
- harus ada pengetahuan minimal yang harus ada tentang perkawinan sendiri dari kedua pihak
- Kekeliruan mengenai diri calon menggagalkan, kekeliruan tentang sifat pribadinya tidak menggagalkan.
- Penipuan mengenai sifat partner menggagalkan perkawinan
- Kekeliruan mengenai sifat hakiki perkawinan asalkan tidak menentukan kemauan, tidak menggagalkan perkawinan
- Kesepakatan nikah bersifat tetap tidak terkesampingkan pendapat atau pengetahuan bahwa perkawinan itu tidak sah.
- Kepura-puraan menggagalkan perkawinan
- Perkawinan bersyarat tentang yang akan datang tidak sah. Syarat dari masa lalu adalah sah atau tidak tergantung dari terpenuhi atau tidaknya syarat tersebut.
- Takut dan paksaan menggagalkan perkawinan
- Kesepakatan nikah dinyatakan secara jelas dengan kata-kata atau isyarat yang senilai secara bersama, sendiri, atau dengan diwakilkan kepada orang yang dikuasakan.
KAWIN CAMPUR
Dalam Gereja Katolik, yang dipahami sebagai kawin campur adalah perkawinan antara orang Katolik (Baptis) dengan orang yang baptis non-Katolik atau antara orang Katolik (Baptis) dengan orang yang berbeda agama. Dalam hal ini, perkawinan antara orang Baptis Katolik dengan orang yang belum baptis (simpatisan atau katekumen) masih dianggap sebagai perkawinan dengan orang yang beda agama.
Orang yang baptis katolik (fideles) secara hukum, tidak diperbolehkan menikah dengan orang yang infideles (tidak baptis katolik). Namun demikian, untuk mengatasi hal tersebut, Gereja masih memberikan ijin dan dispensasi.
Keberatan terhadap pernikahan campur dilandasi keinginan Gereja untuk menyelamatkan iman umatnya serta demi kebahagiaan keluarga yang dibangun. Kekhawatiran yang muncul adalah adanya umat Katolik yang meninggalkan Gereja (murtad?) karena terbawa oleh pasangannya, anak yang lahir adri pasangan tersebut tidak bisa mendapat pendidikan secara Katolik, pihak Katolik tidak dapat menjalankan dan menghayati imannya, atau bahkan pihak Katolik menjadi korban poligami/poliandri pihak non katolik.
Melihat kenyataan yang ada, perkawinan campur yang diilangsungkan menuntut syarat perjanjian dari pihak non-Katolik. Perjanjian itu berisi kesediaan pihak non-Katolik untuk tidak menghalangi pihak Katolik menjalankan agamanya serta membiarkan anak-anak yang nanti dilahirkan untuk dididik secara Katolik. Bila syarat tersebut tidak dipenuhi, perkawinan tidak dapat dilangsungkan.
Perkawinan campur hanya dianggap sah oleh Gereja jika dilaksanakan sesuai hukum Gereja, yaitu dihadapan imam dan dua saksi. Perkawinan campur yang dilaksanakan di luar aturan tersebut dianggap ada tetapi tidak sah. Orang yang melakukan hal tersebut terkena hukuman ekskomunikasi secara langsung. Perkawinan campur dilangsungkan di tempat pihak Katolik dan perjanjian nikah diterima oleh imam dari Gereja Katolik.
Dalam kasus perkawinan ekumenis di mana imam dan pendeta secara bersama-sama memimpin upacara pernikahan tersebut, haruslah imam yang meneirma janji nikah (juga imam yang harus melakukan tanya jawab). Pendeta boleh memimpin dan mengambil alih semua bagian lain selain liturgi perkawinan itu sendiri. Tempat upacara boleh di gereja mana pun.
Dalam kasus pernikahan dengan Islam, sangat tidak dibenarkan adanya pernikahan dua kali apalagi pernikahan secara Islam dilakukan setelah nikah Gereja. Dalam tradisi Islam, mempelai pria harus mengucapkan syahadat sementara dari mempelai wanita yang dituntut mengucapkan kalimat syahadat adalah walinya. Dengan mengucapkan kalimat syahadat tersebut, otomatis seseorang mengakui iman Islam. Oleh sebab itu, pada saat itu juga dia melepaskan iman katoliknya dan menjadi Islam. Orang tersebut dianggap ‘murtad’ dan terkena ekskomunikasi.
PENUTUP
Perkawinan merupakan suatu lembaga yang suci sehingga tidak bisa dipermainkan seenaknya. Hubungan cinta kasih suami-istri melambangkan hubungan kasih antara Allah dengan umat-Nya, kesetiaan Allah pada umat-Nya. Kesucian perkawinan harus dijaga oleh suami-istri, bahkan anak-anak yang dihasilkan oleh perkawinan itu. Kesucian perkawinan dijaga salah satunya dalam bentuk kesetiaan pasangan.
Kesetiaan yang dibangun berlandaskan cinta itulah yang diharapkan ditampakkan oleh keluarga Kristiani. Dengan kesetiaan itu, ditampakkan pula kesetiaan Allah bagi umat-Nya.
Perkawinan Katolik harus dipersiapkan sebaik mungkin demi kesejahteraan keluarga yang dibangun. Untuk itu, Gereja menyediakan sarana berupa Kursus Persiapan Perkawinan yang sebaiknya (harus?) diikuti oleh semua calon pengantin. Dalam kursus tersebut, pasangan diberi persiapan berbagai hal yang berkaitan dengan hidup berkeluarga.
Sakramen Perkawinan adalah persekutuan hidup dan cinta kasih suami istri yang diteguhkan oleh perjanjian nikah atau persetujuan pribadi yang tak dapat ditarik kembali, untuk membentuk keluarga Kristiani.
PENDAHULUAN
Menjadi suami istri berarti suatu perubahan total dari status hidup seseorang. Ia meninggalkan statusnya sebagai anak atau remaja dan mulai hidup sebagai suami/istri bagi pasangannya. "Seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging." Kej 2:24.
Kehidupan suami-istri bukan hanya hidup dua orang secara bersama, melainkan hidup menjadi satu kesatuan (satu daging). Nabi Hosea menggambarkan kesatuan suami-istri itu sebagai lambang kasih Allah kepada bangsa Israel (bdk. Hos 3:1), yang berlanjut kepada Israel baru, yaitu umat Kristiani.
BEBERAPA HAL PENTING
01. Arti Perkawinan: Perkawinan adalah sebuah perjanjian antara seorang pria dan seorang wanita untuk membentuk kebersamaan seluruh hidup.
02. Tujuan Perkawinan : Tujuan perkawinan adalah kesejahteraan suami-istri, kelahiran serta pendidikan anak.
03. Kristus mengangkat perkawinan menjadi sakramen sehingga perkawinan antara orang-orang yang telah dibaptis secara otomatis merupakan sakramen.
04. Sifat Hakiki Perkawinan : Perkawinan Katolik selalu bersifat monogam dan tetap-tak terceraikan. Monogam berarti perkawinan hanya sah jika dilaksanakan hanya antara seorang pria dan seorang wanita. Tidak dibenarkan adanya poligami (beristri lebih dari satu) atau pun poliandri (bersuami lebih dari satu). Tak terceraikan artinya perkawinan yang telah dilangsungkan secara sah menurut hukum, mempunyai akibat tetap dan tidak bisa diceraikan atau diputuskan oleh kuasa mana pun kecuali oleh kematian. Perceraian sipil tidak pernah diakui Gereja!
05. Halangan-Halangan Perkawinan: Yang dimaksud dengan halangan adalah hal-hal yang membuat perkawinan menjadi tidak sah atau menggagalkan sebuah perkawinan.
Beberapa istilah penting:
* Dispensasi yaitu kemurahan yang diberikan uskup demi kesejahteraan rohani umat dalam suatu kasus.
* Izin yaitu persetujuan yang diberikan uskup agar seseorang dapat berbuat halal/layak sesuai hukum.
Halangan yang berasal dari perkawinan itu sendiri
a. Halangan Nikah Umur
Hukum Gereja : Pria 16 tahun Wanita 14 tahun
Hukum Negara : Pria 18 tahun Wanita 16 tahun
Menurut UU Perkawinan No. 1/1974, mereka yang belum mencapai usia 21 tahun harus mendapat ijin dari kedua orang tua.
b. Halangan Nikah Impotensi
Menjadi halangan adalah impotensi yang ada sejak sebelum nikah dan bersifat tetap, baik mutlak maupun relatif.
Kemandulan tidak menjadi halangan atau pun menggagalkan nikah.
c. Ikatan Perkawinan
Salah satu atau kedua pihak masih terikat oleh suatu perkawinan lain yang sah.
Halangan Nikah berdasarkan hal agama
a. Agama yang berbeda
- Beda agama: Orang baptis Katolik dengan orang yang tidak dibaptis. Bisa disahkan jika mendapat dispensasi uskup dengan syarat.
- Beda gereja: Orang baptis Katolik dengan orang baptis Kristen dari denominasi tertentu (masuk PGI). Pentekosta, Adven, Bethel, dan denominasi lain yang tidak termasuk dalam PGI dianggap sebagai beda agama. Dibutuhkan izin dari uskup dengan izin
Orang yang mengaku diri Katolik tetapi belum dibaptis (masih simpatisan atau katekumen) dianggap sebagai orang yang berbeda agama.
b. Tahbisan Suci
Tahbisan suci diakonat, imamat, dan episkopat menggagalkan perkawinan.
Bisa dimintakan dispensasi dari Tahta Suci berupa Laikalisasi (proses menjadikan seorang tertahbis menjadi awam kembali) dan dispensasi dari selibat.
c. Kaul Keprawanan
Mereka yang terikat kaul kemurnian yang bersifat publik dan kekal dalam suatu tarekat religius tidak bisa melangsungkan perkawinan secara sah. Bisa dimintakan dispensasi.
Halangan yang Muncul dari Dosa Berat
a. Penculikan Wanita
Halangan nikah antara pria dengan wanita yang diculik atau sekurang-kurangnya ditahan dengan maksud dinikahi. Halangan ini lebih karena hilangnya kebebasan wanita.
b. Pembunuhan Pasangan
Halangan nikah bagi pria/wanita yang membunuh pasangannya agar dapat menikah lagi.
c. Kelayakan Publik
Halangan nikah yang timbul dari perkawinan tidak sah setelah terjadi hidup bersama atau konkubinat (kumpul kebo) yang diketahui umum. Menggagalkan perkawinan dalam garis lurus tingkat pertama.
Misalkan: pria A kumpul kebo dengan wanita B. A berhalangan nikah dengan ibu dan atau anak dari B. Sementara B berhalangan nikah dengan ayah dan atau anak dari A.
Halangan Nikah Berdasarkan Hubungan Persaudaraan
a. Hubungan Darah
Yang dikenai halangan adalah mereka yang berhubungan darah
- dalam garis lurus ke atas maupun ke bawah dalam segala tingkatan baik yang sah maupun tidak sah.
- dalam garis menyamping sampai tingkat keempat inklusif.
Hub. Darah garis lurus dan menyamping tingkat pertama merupakan halangan kodrati sehingga tidak dapat didispensasi, sementara untuk tingkat III dan IV merupakan halangan gerejani sehingga masih bisa didispensasi.
b. Hubungan Ipar/Semenda
Yang dikenai halangan adalah hubungan kesemendaan dalam garis lurus dalam tingkat manapun. Hubungan kesemendaan dihitung berdasarkan garis dan tingkat dari orang yang berhubungan darah dengan suami atau istri.
Hubungan kesemendaan dalam garis menyamping / ipar tidak menjadi halangan.
c. Halangan Adopsi
Halangan nikah bagi mereka yang mempunyai hubungan dari adopsi dalam garis lurus atau menyamping tingkat kedua.
Beberapa hal yg bisa menghalangi atau menimbulkan cacat perkawinan:
- Kemampuan kedua pihak untuk memberikan kesepakatan. Cacat akal budi, cacat membentuk pandangan, maupun psikis menggagalkan perkawinan
- harus ada pengetahuan minimal yang harus ada tentang perkawinan sendiri dari kedua pihak
- Kekeliruan mengenai diri calon menggagalkan, kekeliruan tentang sifat pribadinya tidak menggagalkan.
- Penipuan mengenai sifat partner menggagalkan perkawinan
- Kekeliruan mengenai sifat hakiki perkawinan asalkan tidak menentukan kemauan, tidak menggagalkan perkawinan
- Kesepakatan nikah bersifat tetap tidak terkesampingkan pendapat atau pengetahuan bahwa perkawinan itu tidak sah.
- Kepura-puraan menggagalkan perkawinan
- Perkawinan bersyarat tentang yang akan datang tidak sah. Syarat dari masa lalu adalah sah atau tidak tergantung dari terpenuhi atau tidaknya syarat tersebut.
- Takut dan paksaan menggagalkan perkawinan
- Kesepakatan nikah dinyatakan secara jelas dengan kata-kata atau isyarat yang senilai secara bersama, sendiri, atau dengan diwakilkan kepada orang yang dikuasakan.
KAWIN CAMPUR
Dalam Gereja Katolik, yang dipahami sebagai kawin campur adalah perkawinan antara orang Katolik (Baptis) dengan orang yang baptis non-Katolik atau antara orang Katolik (Baptis) dengan orang yang berbeda agama. Dalam hal ini, perkawinan antara orang Baptis Katolik dengan orang yang belum baptis (simpatisan atau katekumen) masih dianggap sebagai perkawinan dengan orang yang beda agama.
Orang yang baptis katolik (fideles) secara hukum, tidak diperbolehkan menikah dengan orang yang infideles (tidak baptis katolik). Namun demikian, untuk mengatasi hal tersebut, Gereja masih memberikan ijin dan dispensasi.
Keberatan terhadap pernikahan campur dilandasi keinginan Gereja untuk menyelamatkan iman umatnya serta demi kebahagiaan keluarga yang dibangun. Kekhawatiran yang muncul adalah adanya umat Katolik yang meninggalkan Gereja (murtad?) karena terbawa oleh pasangannya, anak yang lahir adri pasangan tersebut tidak bisa mendapat pendidikan secara Katolik, pihak Katolik tidak dapat menjalankan dan menghayati imannya, atau bahkan pihak Katolik menjadi korban poligami/poliandri pihak non katolik.
Melihat kenyataan yang ada, perkawinan campur yang diilangsungkan menuntut syarat perjanjian dari pihak non-Katolik. Perjanjian itu berisi kesediaan pihak non-Katolik untuk tidak menghalangi pihak Katolik menjalankan agamanya serta membiarkan anak-anak yang nanti dilahirkan untuk dididik secara Katolik. Bila syarat tersebut tidak dipenuhi, perkawinan tidak dapat dilangsungkan.
Perkawinan campur hanya dianggap sah oleh Gereja jika dilaksanakan sesuai hukum Gereja, yaitu dihadapan imam dan dua saksi. Perkawinan campur yang dilaksanakan di luar aturan tersebut dianggap ada tetapi tidak sah. Orang yang melakukan hal tersebut terkena hukuman ekskomunikasi secara langsung. Perkawinan campur dilangsungkan di tempat pihak Katolik dan perjanjian nikah diterima oleh imam dari Gereja Katolik.
Dalam kasus perkawinan ekumenis di mana imam dan pendeta secara bersama-sama memimpin upacara pernikahan tersebut, haruslah imam yang meneirma janji nikah (juga imam yang harus melakukan tanya jawab). Pendeta boleh memimpin dan mengambil alih semua bagian lain selain liturgi perkawinan itu sendiri. Tempat upacara boleh di gereja mana pun.
Dalam kasus pernikahan dengan Islam, sangat tidak dibenarkan adanya pernikahan dua kali apalagi pernikahan secara Islam dilakukan setelah nikah Gereja. Dalam tradisi Islam, mempelai pria harus mengucapkan syahadat sementara dari mempelai wanita yang dituntut mengucapkan kalimat syahadat adalah walinya. Dengan mengucapkan kalimat syahadat tersebut, otomatis seseorang mengakui iman Islam. Oleh sebab itu, pada saat itu juga dia melepaskan iman katoliknya dan menjadi Islam. Orang tersebut dianggap ‘murtad’ dan terkena ekskomunikasi.
PENUTUP
Perkawinan merupakan suatu lembaga yang suci sehingga tidak bisa dipermainkan seenaknya. Hubungan cinta kasih suami-istri melambangkan hubungan kasih antara Allah dengan umat-Nya, kesetiaan Allah pada umat-Nya. Kesucian perkawinan harus dijaga oleh suami-istri, bahkan anak-anak yang dihasilkan oleh perkawinan itu. Kesucian perkawinan dijaga salah satunya dalam bentuk kesetiaan pasangan.
Kesetiaan yang dibangun berlandaskan cinta itulah yang diharapkan ditampakkan oleh keluarga Kristiani. Dengan kesetiaan itu, ditampakkan pula kesetiaan Allah bagi umat-Nya.
Perkawinan Katolik harus dipersiapkan sebaik mungkin demi kesejahteraan keluarga yang dibangun. Untuk itu, Gereja menyediakan sarana berupa Kursus Persiapan Perkawinan yang sebaiknya (harus?) diikuti oleh semua calon pengantin. Dalam kursus tersebut, pasangan diberi persiapan berbagai hal yang berkaitan dengan hidup berkeluarga.
2 komentar:
alangkah bagusnya kalau ada juga gerakan "persiapan menuju pacaran" - katakan untuk Mudika - supaya mereka lebih siap lagi
semoga ada paroki yang mau mulai gerakan ini
apakah otomatis murtad jika seorang mengucap syahadat islam saat melangsungkan tata peneguhan nikah islam. Setahu saya status murtad resmi setelah orang bersangkutan menyatakan keinginannya secara resmi, terbuka (notoris, k. 1071 art. 1 no.4). Dan memang klausul "meninggalkan Gereja katolik dengan tindakan formal, perlu dipertegas lagi dalam konteks indonesia.
Posting Komentar